Selasa, 19 Juni 2012

Beautiful Soul Part 1 -Versi ALVIA-


Chapter 1 : Tahun Ajaran Baru

Beberapa bulan lalu…

Aku memutuskan untuk membuka kenop pintu kelas dengan perlahan-lahan setelah sekitar lima menit berdiri di luar kelas, mengetuk pintu berkali-kali, tapi tidak juga ada jawaban. Aku melongok ke dalam kelas. Setelah melihat banyak orang di dalam, aku melangkah masuk dengan senyum yang mirip seringai, rambut berantakan, poni kusut, dan badan penuh keringat. Aku terlihat seperti habis memandikan kambing. Yah, minimal aku masih wangi karena antisipasi sepuluh semprot parfumku tadi pagi ternyata keputusan yang sangat tepat.

“Permisi, Bu. Maaf, saya terlambat. Tadi saya harus menemui Kepala Sekolah.” Aku mengucapkannya terlalu lantang diantara keheningan kelas itu.

“Kamu siapa, ya?” Pak Tarjo kaget dengan kehadiranku, mematung dengan mulut menganga dan memandangku dengan bertanya-tanya.

Aku memiringkan kepala mengamati ekspresi aneh Pak Tarjo. Bukan hanya dia yang bertanya-tanya, aku juga tidak mengerti dengan reaksinya. Apakah itu termasuk sambutan untukku dikelas?

Merasa konyol, Pak Tarjo menggeleng dengan sedikit menahan malu, lalu merapikan bajunya yang berkerut, dan berdeham keras. Sepintas ia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, memastikan tak ada murid yang berani terang-terangan menertawakan ekspresinya tadi.

“Saya Sivia. Maaf, kalo boleh tahu, ini kelas apa ya, Pak?” Tubuhku membeku ketika menyadari ada yang ganjil di sini. Aku tidak mengenal satu pun anak di kelas itu. Aku bahkan tidak ingat wali kelasku yang baru adalah pria, seingatku wanita.

“Kelas XII IPA-2. Kamu yakin siswi kelas ini?” Pak Tarjo menatapku dengan tatapan menyelidik. Dia juga merasa aku telah melakukan kesalahan. Mungkin sewaktu dia mengadakan presensi awal tadi, tak satu pun muridnya yang tidak hadir. Kalau begitu, aku pasti sudah salah masuk ruangan.

“Maaf, Pak, saya salah masuk kelas. Maaf mengganggu. Permisi..”aku membungkuk-bungkuk sambil berjalan mundur keluar kelas tanpa menunggu jawaban Pak Tarjo, lalu menutup pintu dengan sangat perlahan dan segera lari.

Pagi itu benar-benar sial!

Bangun kesiangan, kehabisan sereal karena malam sebelumnya lupa beli, kunci kos-kosan hilang, hampir ditabrak gerobak siomay waktu berangkat karena lari terburu-buru, dipanggil kepala sekolah Karena dituduh belum membayar uang sekolah, dan terakhir….salah masuk kelas! Tanggal berapa sih sekarang?! Kenapa hariku sial begini? Apakah ini pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi?

Aku berlari ke papan informasi di depan ruang Wakil Kepala Sekolah, mencari-cari lagi pengumuman yang di pajang di sana, memastikan di mana kelasku sekarang berada. Sekolahku sudah menjalankan system moving class. Jadi, setiap ganti pelajaran, kami harus pindah kelas. Setelah memastikan ruangan kelasku, aku segera berlari. Aku tidak ingin terlambat mengikuti briefing pertama pada ajaran baru. Itu akan menyulitkanku menjalani hari-hari berikutnya.

Ketika akhirnya menemukan kelas yang kurasa benar, aku mengetuk beberapa kali dan memutuskan untuk terus menunggu di depan pintu hingga ada seseorang yang memperbolehkan masuk. Aku tidak ingin kejadian sebelumnya terulang.

“Masuk aja, belum ada gurunya.” Suara itu tedengar dari dalam kelas. Setelah mendengar jawaban itu, spontan aku membuka pintu, dan ternyata benar wali kelas kamu belum datang. semua anak masih ribut, ada yang duduk di atas meja, main kartu, bergosip, dan banyak lagi. Hanya satu anak yang menyadari kehadiranku, Ify. Dia melambaikan tangan padaku, menyuruhku duduk di kursi dekatnya.

“Kamu dari mana aja?” Ify memutar kursinya Sembilan puluh derajat ke kanan, memperhatikanku yang sedang mati-matian merapikan rambutk, akhirnya kuputuskan untuk mengikatnya menjadi kucir ekor kuda saja.

“Nanti aku ceritain. Badanku lengket banget, nggak nyaman nih rasanya.” Aku menjawab sepintas sambil mengipas-ngipas tengkukku yang berkeringat.

“Pagi, anak-anak!” Bu Sita masuk ke kelas sambil membawa tumpukkan kertas setinggi leher di tangan. Ia berjalan dengan tergesa-gesa. Rambutnya yang panjang dan di-smoothing bergoyang ketika dia berjalan, makeup-nya tipis dan lembut. Dia tampak anggun dengan rok yang pendeknyalima senti di atas lutut dan blazer yang tidak dikancingkan.

Semua murid kaget begitu melihat kedatangan Bu Sita. Mereka yang semula duduk di meja, langsug lompat dan meluncur ke kursi masing-masing. Mereka yang tadi bermain kartu, langsung mengambil tas dan menutupi kartu-kartunya. Mereka yang bergosip, langsung mengunci mulut rapat-rapat dan duduk setegak mungkin. Karena kami semua tahu, guru muda dan cantik itu masuk daftar dalam guru killer.

“PAGIII, BU..!!” Suara anak kelas XII IPA-1 menggema diruangan berisikan 21 murid itu.

Bu Sita tersenyum, mengatur napasnya yang sempat tersengal, lalu berjalan ke depan meja guru agar dapat menatap kami lebih dekat. “Saya yakin kalian semua sudah kenal saya. Nama saya Bu Sita. Saya wali kelas sekaligus guru BP kalian. Jadi, kalau ada apa-apa, kalian bisa minta tolong saya. Oke?”

“OKEEE, BU…” Semua anak mengangguk-angguk.

“Baik, hari ini saya punya kejutan untuk kalian. Kita kedatangan murid baru pindahan dari Amerika. Nggak usah khawatir soal bahasa, teman baru kalian ini pernah tinggal di Indonesia waktu kecil dan juga ibunya asli Indonesia. Ini pertama kalinya sekolah kita menerima pindahan murid kelas dua belas. Jadi, kalian wajib membantunya selama belajar disini,” ujar Bu Sita tegas. Kami semua mengangguk-angguk lagi mendengar perintah itu. “Oke , silahkan masuk!” Bu Sita member kode dengan dua kali tepukan tangan.

Kami semua menanti-nanti seperti apa wajah anak baru itu. Kemudian, seorang cowok bertubuh sangat jangkung, mungkin sekitar 188 centimeter, atletis, berkulit putih, berparas aduuhai, dan sepertinya berotak brilian melangkah tenang ke dalam kelas. Semua siswi yang memang menunggu-nunggu hadirnya ksatria berkuda putih di sekolah itu langsung terpana, seakan melihat drakula di siang bolong. Cakka benar-benar kalah saing deh!

Meski ibunya asli orang Indonesia, wajahnya khas amerika. Kulitnya sangat putih, seperti orang Chinese, hidungnya mancung, bibirnya merah dan tipis tanpa ada tanda-tanda bekas nikotin, dan tulang rahangnya begitu tegas. Jujur saja, menurutku, wajah itu benar-benar sempurna.

“Nama saya Alvin Jonathan Sindhunata. Biasa dipanggil Alvin. Saya sekolah di amerika sejak SMP, tapi karena bisnis papaku berkembang di Indonesia, kami memutuskan untuk kembali.” Cowok itu memperkenalkan diri. Dia tidak repot-repot memunculkan kesan ramah. Justru sebalikanya, dia memasang wajah congkak , pamer, dan menyebalkan yang, aku yakin, tidak sulit baginya menimbulkan huru-hara di satu kampung dengan tampang seperti itu.

Kesan pertamanku mengenai wajahnya yang sempurna tiba-tiba saja luruh dan berganti dengan “manusia congkak era reformasi”.

“Oke. Kamu boleh duduk.” Bu Sita kemudian membuka mapnya. “Kita absen dulu.”

Satu per satu nama siswa-siswi  di dalam kelas disebutkan secara lengkap oleh Bu Sita. Jumlah murid kelas itu ganjil dan hanya aku yang sekarang duduk sendiri karena datang terlambat tadi. Jadi, anak baru itu tak punya pilihan lain selain duduk semeja denganku. Aku melihatnya melangkah kearahku dengan rambut rapi model spike. Satu tangannya menggenggam tali tas ransel di pundaknya.

Saat itu entah mengapa aku membeku, seperti merasakan hawa-hawa kelam disekitarku. Siswa-siswi yang ada di kelas menyipitkan mata dan melihatku dengan mata berkilat-kilat.

“Amore Acresivia Christine!” Bu Sita berteriak memanggil namaku. Aku mengangkat tangan, tapi tatapanku tak beralih dari anak baru itu. Jarak yang hanya sekitar lima meter dari depan kelas untuk sampai dimejaku terasa begitu jauh ketika dia melangkah. Padahal aku yakin langkahnya dua klai lebih lebar dibanding langkahku.

“Kosong?” Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya ketika akhirnya sampai di mejaku. Matanya menatap tajam padaku.

Aku mengangguk kaku. Leherku seperti kram, walaupun tentu saja kenyataanya tidak. Kemudian dia duduk dan meletakkan tas di meja dengan selempangan super-cool. Aku tidak tahu bagaimana membedakan tampang cool dan tampang sombong saat melihat wajahnya.

“Vi, beruntung kamu bisa duduk semeja sama dia. Cakep bangeetttt!” Ify menusuk pinggangku dengan bolpoin. Dia berbisik-bisik sambil bermain mata centil melihat Chinese ke-bule-bule-an di sampingku.

“Tampang sih boleh. Tapi kalo kelakuan amit-amit, percuma juga.” Aku menoleh kearah Ify dan membalas bisikannya dengan bisikan pula. 
 Kemudian, karena merasa kelas ber-AC itu sudah cukup dingin untukku, aku melepaskan ikatan rambutku dan membiarkannya tergurai.

“So…Amore, hah? Love?” Cowok itu tertawa kecil. Memanggil namaku seperti menyebutkan nama teraneh yang pernah dia dengar.

“Just call me sivia or via, ok?” jawabku, ketus. Dia pikir Cuma dia yang bisa bahasa inggris, hah? Dia bahkan tidak menatapku saat berbicara denganku, jadi untuk apa aku sok ramah padanya?

“Nama yang bagus. Tapi buat cewek sepertimu…” Dia tertawa lagi, kali itu benar-benar dengan nada menghina. Dia hanya melirikku dari sudut matanya, seolah sama sekali tidak menghargaiku.

“Apa masalahmu? Kalo nggak ada, diam saja deh,” jawabku ketus, berusaha memepertahankan harga diri untuk tidak bertengkar dengannya. Kurasa itu keputusan yang sangat tepat. Aku menyibakkan rambutku ke pundak kiriku.

Itu hari tersial sepanjang abad! Ditambah lagi aku harus duduk semeja dengan murid baru berwajah congkak bernama Alvin Jonathan Sindhunata!

“LIMITED EDITION DEVIL OF YEAR!!!” Aku menulis buku di catatan kegiatan bagian paling depan dengan spidol merah! Aku garis bawahi berkali-kali sampai puas.

 
“Fiuhh.. untung kita belum terlambat.” Aku mengembuskan nafas panjang setelah duduk di salah satu kursi panjang di dalam gereja, memutar bola mata, lalu menata kembali posisi rambutku yang masih setengah basah. Aku baru saja melakukan mission impossible beberapa menit sebelumnya. Jarak gereja ini dengan tempat kosanku sekitar lima belas menit, tapi tadi aku berhasil menempuhnya dengan hanya tujuh menit lebih beberapa detik.

Kuteriakkan “Wow!” untukku.

“Vi, coba kamu lihat ke pojok paling kiri deretan kursi di depan kita.” Aku mendekatkan telingaku ke bibir Ify yang bersuara sangat pelan. 
 “Cuma aku, atau kamu juga ngerasa familier sama wajahnya?” Dia menyenggol siku tangan kiriku, lalu sedikit teleng ke kiri untuk memberiku kode agar melihat ke kiri.

Aku mengambil kacamata dari dalam tas lalu menenggerkannya di hidungku. Dengan susah payah, aku memfokuskan mata untuk menangkap dengan jelas bayangan wajah cowok yang dimaksud Ify.

Mataku menyipit. “Itu bukannya… Alvin si anak pindahan?!” Nada suaraku meninggi, tapi masih tetap berbisik. Cowok yang kuperhatikan tiba-tiba menoleh dan melihat tepat ke wajahku. Aku kaget, lalu dengan cepat berpura-pura tidak ada apa-apa, membenarkan posisi dudukku, dan kembali menghadap lurus ke depan.

“Tuh kan, bener itu Alvin. Tapi, sama siapa ya, Vi? Pacarnya?” Ify berbisik lagi. Sudut matanya memperhatikan Alvin di ujung sana.

Aku mengangkat bahu. “Seharusnya iya. Kalo bukan pacar, cewek itu nggak mungkin bermanja-manja begitu. Lagi pula, apa cewek itu nggak merasa salah kostum? Masa ke gereja pake tank top? Atau mungkin cewek itu sengaja karena cowoknya seneng lihat dia pake itu?” aku membolak-balik kertas misa yang sudah mulai kucel di tanganku.

Jujur saja, tanganku berkeringat dingin. Perhatianku teralih dari misa. Aku tidak menyangka akan bertemu Alvin di gereja. Dia tampak luar biasa dalam T-shirt berbalut kemeja tipis, lebih sempurna daripada ketika mengenakan seragam sekolah. Tapi yang paling membuatku terpaku adalah cewek yang duduk di sampingnya. Cewek itu cantik, rambutnya panjang, dan berkilau. Aku tahu itu meski hanya sepintas melihatnya. Dia kurus, seksi, manja, centik, dan anggun, persis seperti yang diidam-idamkan semua cowok di dunia. Dia duduk menempel dengan tubuh Alvin dan berkali-kali menyentuh wajah Alvin. Aku tidak tahan melihat tingkah cewek yang tidak tahu adat itu, kemudian kuputuskan melepas kacamataku agar tidak bisa melihat mereka.

“Mungkin juga.” Ify mengangguk-angguk. “Eh, misanya sudah mau dimulai. Pastornya sudah datang.” ify berdiri sambil menarik tanganku ketika lonceng berdenting.


Aku berusaha tetap berkonsentrasi pada misa dan khotbah yang disampaikan pastor. Tapi mataku tak bisa berhenti melirik dua makhluk yang sejak tadi melakukan perbuatan yang tidak pada tempatnya. Cewek itu seperti hampir mencium pipi Alvin, untung Alvin bergerak menjauhinya. Lalu cewek itu bersandar pada pundak Alvin, tertawa-tawa centik sendirian karena tidak terlihat satu pun senyum di wajah Alvin. Orang-orang di sekitar mereka sudah mulai bergeser, sedikit demi sedikit menjauhi. Ada yang sengaja terbatuk-batuk lalu bergeser beberapa kali, ada pula yang menggeser tas mereka menjauh lebih dulu lalu bokong mereka bergerak menjauh. Gereja ini disulap menjadi panggung drama karena perliaku mereka!

Keringat dingin terus-menerus keluar di dahiku karena aku memaksa pikiranku focus pada misa. Baru kali itu aku merasa sangat lelah mengikuti misa. Akhirnya, aku menyerah. Aku bersandar pada kursi dan menunduk. Mungkin lebih baik aku tidak melawan pikiranku lagi dan memohon ampun pada Tuhan atas kelalaianku.

“Mbak, mbak…” seseorang  menyentuh pundak kananku berkali-kali.

“Ini apa lagi?!” aku mengangkat wajahku lalu berbisik agak keras padanya, lepas kendali.

Orang –orang didekatku langsung membeku. Mereka menoleh ke arahku, mungkin bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah dia kerasukan setan?’, ‘Apakah jiwanya terguncang?’ Ify juga takjub melihat reaksiku. Aku berkedip berkali-kali, mencoba menenangkan diri.

Kemudian Ify berbisik, “Dia cuman mau kasih kotak kolekte ke kamu, Vi. Kasihan dia, nggak salah tapi malah kamu damprat.” Ify menahan tawa. Dia membekap mulut dengan telapak tangan.

Pipiku memerah dan tiba-tiba seperti terbakar. Betapa bodohnya aku karena membentak orang itu. Akulah yang salah tidak menjawab panggilannya.

“Maaf, terima kasih.”

“Lho, kamu nggak ngisi kolekte, Vi?” Ify kebingungan melihatku lagi.

“Oh iya, ya ampun. Bentar, bentar.” Aku kelabakan mengambil uang dari dalam tas dan segera memasukkannya ke lubang kecil di kotak itu.

Saat itu aku ingat betul, aku baru mengenal Alvin selama sehari –bahkan baru beberapa jam yang singkat- karena pada hari sebelumnya adalah hari pertama tahun ajaran baru yang diisi dengan briefing dan perkenalan kelas. Lalu, bagaimana bisa orang seperti dia mengacaukan pikiranku? Orang sombong yang tidak menghargaiku ketika berbicara denganku!


“Habis ini mau ke mana?” aku menstrater mobil, menunggu mesinnya panas.

“Hm.. makan dulu, setelah itu kita nonton. Ada film bagus di bioskop. Tapi, kita ambil yang midnight show aja. Sepi, lebih gampang dapat tiketnya. Gimana?” Ify menjawab.

“Oke.” Aku melajukan mobil dari parkiran gereja yang penuh sesak.
Samar-samar saat akan keluar dari gerbang pintu keluar gereja, aku melihat Alvin berjalan sendirian ke sebuah mobil sambil membuka ponselnya. Dia tampak serius membaca tulisan di layar ponselnya. Aku bertanya-tanya di mana cewek yang tadi bersamanya. Karena setelah itu, Alvin langsung masuk mobil dan pergi.

Aku dan Ify pergi ke restoran steik yang terkenal. Aku merasa butuh asupan gizi besar setelah kejadian di gereja tadi. Mungkin itu bukan karena Alvin, tapi karena aku kelaparan. Ya, itu masuk akal. Aku berulang kali mencoba meyakinkan diri. Karena keyakinan itulah aku memesan chicken steak porsi dobel dan jus alpukat dengan susu coklat.

“Vi, bentar deh.” Ify mengucek-ngucek mata.

“Kenapa? Ada yang salah?” aku menyeruput jus alpukat yang berulang kali membuatku menelan air liur ketika menunggu kehadirannya.

“Itu di belakangmu… Alvin lagi?!” Ify benar-benar melotot kali ini. Dia seperti orang yang tersedak tanpa sebab. Telunjuknya mengarah ke belakangku.

“Apa?!” Aku tidak kalah terkejutnya. Spontan aku berbalik cepat hingga mengibaskan rambutku yang sedikit basah terkena hujan ketika turun dari mobil tadi. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Ify.

Benar! Itu Alvin! Dia duduk sekitar tiga meja dibelakangku bersama seorang cewek/ itu bukan cewek yang kami lihat di gereja sebelumnya. Dia berganti pasangan dalam tempo kurang dari setengah jam? Berarti waktu dia menatap serius ponselnya di parkiran gereja, dia sedang mengatur jadwal bersama cewek mana dan di mana? Dasar bule-china playboy!

“Iya, itu Alvin lagi, dan bersama cewek yang berbeda. Hebat sekali. Pengin sekali aku menancapkan pisau ini ke jidatnya.” Aku menyentuh dan melihat-lihat pisau steak yang disediakan di meja, membandingkan mana yang paling tajam untuk kutancapkan ke jidat Alvin.

Aku sengaja memasang ekspresi datar di depan Ify. Tapi dalam hatiku seperti ada pukulan besar yang menyakitkan. Aku benci cowok-cowok yang suka mempermainkan cewek. Kalau Alvin salah satu cowok itu, berarti dia juga masuk dalam daftar cowok yang harus kubenci.

“Wah, gila, dalam dua jam dia udah ganti dua cewek.” Ify menggeleng-gelengkan kepala. “Tapi dia memang luar biasa cakep, Vi. Lihat deh, matanya tajam dan indah, hidungnya mancung sempurna, bibirnya merah, wajahnya tegas dan beribawa, suaranya berat dan serak serak basah, dan senyumannya itu lho, membuat dunia serasa berhenti berputar…” Ify memandang lurus ke arah Alvin sengan senyum yang terlihat seperti orang dimabuk cinta.

“Hei!” aku mengetuk kepala Ify dengan sendok.

“Aduh, Via! Sakit!” Ify mengusap-usap kepalanya. “Tapi kamu juga harus mengakui kalo dia memang cakep luar biasa, Via. Dan kalau misalnya suatu hari ada keajaiban dan dia serius mau pacaran sama kamu, kamu bakal milih dia atau Cakka?” Ify menopang dagu ke telapak tangan kanannya, memandangku dengan berbinar-binar. Senyumannya seperti meledekku.

Jantungku sempat behenti berdetak beberapa detik ketika Ify menyebut nama Cakka dan membandingkannya dengan Alvin. Apakah hal itu mungkin terjadi? Dan kalau memang terjadi, siapa yang akan kupilih? Tapi, ah, untuk apa mengira-ngira sesuatu yang tidak mungkin terjadi? Mereka berdua sudah masuk black list-ku.


Kesialanku belum berakhir…

“Ternyata midnight show banyak dipake pasangan buat pacaran, ya.” Aku mengeluarkan popcorn dan soft drink yang tadi kubeli.

“Yap. Emang kamu belom pernah nonton yang jam segini?” Ify tampak tenang-tenang aja.

“Iya. Aku pikir sepi. Eh, ternyata malah gawat begini.”

“Ssstt…” Seseorang di samping kiriku memperingatkanku untuk diam. Dia tampak terganggu dengan obrolanku dan Ify.

Tapi kuputuskan mengambil jalan damai. “Maaf.” Aku nyegir padanya sambil mengangkat sedikit tangan kiriku.

“Iya, memang gini, Vi, resiko nonton jam segini. Udah, cuekin aja. Tuh filmnya mulai.” Ify meneguk air mineralnya lalu mengikuti posisi dudukku.

“Auw!” Seseorang menendang kepalaku dari belakang. Bukan hanya menyenggol, dia benar-benar menendang!

Sialan! Cari masalah nih orang! Dia bahkan tidak mengucapkan maaf atas perbuatannya!

Aku berdiri dan langsung melotot ke belakang. Tanganku bertengger dengan gaya menantang di pinggang. “HEH! Apa perlu ada sekolah khusu kepribadian buat kaki biar kamu nggak sembarangan nendang kepala orang? Udah gitu nggak minta maaf pula!” Aku membentak orang itu sekeras-kerasnya agar seisi studio tahu orang ini tidak punya etika.

“Udah, Vi, biarin aja.” Ify menarik tanganku dan membujukku untuk duduk.

“Nggak bisa! Dia bahkan nggan nurunin kakinya dari kursiku sampai sekarang! Mana mungkin aku diem aja?” Aku menampar kaki orang itu yang masih bertengger di punggung kursiku, membuat orang itu goyah di tempat duduknya dan hampir terjerembap.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata karena tidak bisa melihat wajahnya dengan  jelas di tengah temaramnya studio. Kemudian, ketika menyadari bahwa aku sudah melihat wajah itu berkali-kali hari ini, darahku naik hingga ubun-ubun hingga wajahku terasa panas. Tanganku mengepal dan napasku memburu.

“Kamu lagi?!” Aku berteriak lebih keras dibandung sebelumnya. Aku sudah sangat ingin melompat dari kursiku dan langsung meninju mukanya. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya tiga kali dalam sehari?! Dan sesuai dugaanku, dia duduk dengan cewek yang berbeda lagi! Aku benar-benar muak melihat mukanya.

“Kenapa kamu bisa ada disini?!” Alvin ikut berdiri karena tidak terima dengan tamparanku pada kakinya, dan balas meneriakiku.

“Itu nggak penting! Yang penting paling adalah kamu menendang kepalaku dan nggak minta maaf!” Aku menudingnya dengan kepala sedikit terangkat karena posisi duduknya di deret atasku.

Mataku berkilat-kilat menatapnya, wajahku memerah karena menahan emosi.

“Heiii! Diam!!! Kaliuan berdua berisik! Mengganggu konsentrasi aja! Kalau..” Pasangan yang tadi duduk disamping kiriku berteriak lagi padaku.

“Maaf, udah bikin ribut. Tapi gimana kalau ada orang yang menendang kepalamu dan nggak minta maaf?” Aku memotong perkataannya lalu menatap tajam orang itu. Dia pun diam.

Emosiku sudah memuncak. Mungkin kalau perlakunya bukan Alvin, emosiku tidak akan separah itu. Tapi dia Alvin! Orang yang sesorean ini sudah sangat mengganggu pikiranku!

“Maaf, ada keributan apa di sini?” Seorang petugas wanita menghampiri tempat dudukku. Dia tersenyum sopan padaku.

Aku menarik napas panjang, mencoba sedikit meredam amarah. “Orang ini menendang kepala saya dan menolak meminta maaf.” Aku menunjuk wajah Alvin.

“Bukan seperti itu, saya nggak sengaja.” Alvin tergagap-gagap mencoba mencari alasan. Dia terlihat sekali berpura-pura menyesal, sama sekali tak ada ketulusan meminta maaf.

“Kalau begitu, Mas minta maaf saja agar masalahnya tidak berlarut-larut.” Petugas itu bertutur bijak. Dia masih memasang senyum ramah.
Aku tahu Alvin masih ingin membantah dan membela diri. Bibirnya masih bergerak-gerak, mencoba mencari alasan. Tapi cewek disampingnya berdiri lalu membisikkan sesuatu. Alvin mengangguk lalu tersenyum sambil menyentuh pinggang cewej itu, mendekapnya lebih dekat ke tubuhnya.

Napasku berhenti sejenak ketika melihatnya. Wajahku memanas lagi. Kali ini berbeda, bukan karena emosi akibat tendangan dikepalaku tadi, tapi karena adegan barusan. Aku tidak tahan melihatnya, ingin sekali aku mencakar wajah Alvin. Menerkamnya bak serigala melihat mangsa saat benar-benar kelaparan.

“Maaf,” ujar Alvin, masih bertahan pada sikap dinginnya. Dia kembali duduk dikursinya.

“Haap setelah ini menjaga ketenangan demi kenyamanan bersama. Terima kasih.” Petugas itu mengangguk singkat lalu pergi dari tempatku.
Aku masih berdiri, menatap tajam wajah yang dipuja-puja cewek-cewek disekolahku. Amarahku sudah tidak bisa dibendung lagi. Terlebih sekarang dia dengan asyiknya bergandengan tangan dengan cewek itu, berlagak ingin menunjukkan bahwa dia menyayanginya.

Aku kasihan pada cewek itu. Nasibnya tak lebih baik dari sekedar mainan yang sebentar lagi dibuang setelah pemiliknya bosan. Bodoh sekali cewek itu bila tidak mencari tahu latar belakang pacarnya, hanya terbujuk pada harta dan tampang.

“Udah, Vi, duduk lagi. Filmnya bagus. Nggak perlu ngurusin mereka lagi.” Ify menarik tanganku duduk.

Aku masih menggeram, tapi terpaksa menyetujui omongan Ify. Tidak ada untungnya ikut campur urusan mereka. Yang paling penting bagiku: Alvin Jonathan, limited edition devil of the year, masuk dalam daftar hitam orang yang harus kubenci!

@thezrgn
Novel : ‘Beautiful Soul’ (Stefani E.l)

Minggu, 03 Juni 2012

Beautiful Soul PROLOG -Versi ALVIA-


“Sivia, aku mau ngomong sama kamu.” Cakka berjalan mendekatiku. Seketika hawa di sekitarku berubah beku. Kulitku seperti tertusuk-tusuk angin yang berhembus memainkan rambut pendekku.

Dia memakai seragam SMA yang tidak dikancingkan hingga atas, sengaja ingin menimbulkan kesan menggoda. Setelah itu, dia mengumbar senyum yang menurut banyak orang seharusnya melelehkanku. Tapi di mataku senyuman itu justru terlihat seperti seringai harimau yang siap memangsa buruannya.

Aku menelan ludah dan terkesiap ngeri ketika menyadari dia sudah dekat denganku. Sekitarku berubah sepi dan hanya langkahnya yang terdengar.

“Tapi aku nggak mau,” jawabku singkat dan segera berbalik untuk pergi dari situ. Kakiku bergerak sangat cepat menapaki lantai lorong sekolah yang agak basah dan licin karena hujan. Biasanya Cakka akan mengejar dan memaksakan kehendaknya. Maka, solusi terbaik yang kupunya adalah pergi secepatnya dan bersembunyi di balik tembok samping lapangan basket.

Lebih dari setahun dia mencoba mendekatiku. Aku sudah menggunakan segala cara untuk menolaknya, tapi dia tak juga berhenti, malah semakin menjadi-jadi. Semua temanku menganggapku tidak normal karena menolak Cakka yang notabene pujaan hati ratusan siswi di sekolah ini. 
 Tapi, aku punya alas an sendiri untuk menolaknya.

Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

“Bawa dulu anak ini ke pusat informasi, dia kehilangan orang tuanya. Setelah itu, baru bawa aku kerumah sakit.” Suara anak kecil yang sebaya denganku itu masih terngiang di benakku.

Saat hilang di mal dan hampur tertimpa reruntuhan kayu, aku baru berusia Sembilan tahun. Itu sekitar delapan tahun lalu. Tapi hingga detik ini, aku masih belum bisa melupakan anak itu. Dia tidak memedulikan tangannya yang berdarah terkena reruntuhan kayu dan dengan tenang malah menyuruh sopirnya yang sangat panic ketika menemukannya untuk menolongku.

“Hei!” Seseorang berteriak di belakangku.

Aku berhenti melangkah.

Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin panggilan itu ditujukan untukku. Tapi sepertinya tak ada salahnya berbalik dan melihat siapa di sana. Menurutku, berhenti sebentar tidak akan membuat Cakka mampu menemukanku.

Ketika berbalik, aku melihat titik hitam yang bergerak sangat cepat dan tampak semakin besar ke arahku. Aku mengernyit dan menyipitkan mata, melihat apa sebenernya titik itu. Detik berikutnya aku menyadari bahwa itu bola basket yang siap menghantam hidungku.

Aku tahu benakku menyarankan untuk menghindar, tapi kakiku seperti terpaku di tanah. Aku pun hanya pasrah dan menutup mata, membiarkan bola itu dengan sukses menghantam wajahku, dan membuat tubuhku terpelanting ke lapangan yang becek.

“Aw! Hidungku!”

Aku sempat merasakan semuanya tiba-tiba gelap.

Butuh beberapa saat bagiku untuk sepenuhnya tersadar. Setelah yakin bahwa kepalaku baik-baik saja, aku bangkit berdiri, mengambil bolas basket tadi, dan dengan langkah berdebum serta amarah membara di dada, aku menghampiri cowok-cowok yang bermain basket.

“Sialan! Siapa yang sengaja ngelempar bola tadi?!” Aku berteriak keras ke arah mereka.

Tak ada yang menjawab.

Aku semakin cepat mendekati cowok yang lagaknya paling menantangku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena kacamataku tertinggal di tas.

“Gimana? Otakmu udah baikan kena lemparan tadi? Atau perlu aku lempar sekali lagi untuk memastikan otakmu masih berfungsi?” Suaranya congkak dan menyebalkan. Sama sekali tidak terdengar merasa bersalah.
Dia berdiri dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana dan memamerkan senyum penuh kelicikan. Siapa lagi kalau bukan Alvin Jonathan Sindhunata, anak pindahan baru yang entah kenapa selalu cari masalah denganku.

“sebenernya otak siapa yang nggak jalan? Lagi pula, aku nggak merasa ngelakuin sesuatu yang membuatmu harus membenahi otakku!” tanganku mengepal dan tangan yang lain siap melemparkan bola basket ini ke mukanya. Cuaca dingin di  sekitarku tak berhasil meredam amarahku.

Dia mengangkat bahu. “Yah, aku hanya khawatir otakmu membeku karena terlalu lama dekat dengan pujaan hatimu itu. Siapa namanya? Cakka Nuraga?” Senyum penuh cela itu tersungging di wajahnya.
Sekarang aku hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri hingga bisa melihat wajah dan tubuhnya dengan jelas. Seragamnya basah kuyup. Dia pasti sudah bermain di lapangan ini sejak hujan dimulai sekitar satu jam yang lalu.

Lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas karena seragam basah itu lepek di tubuhnya. Aku menelan ludah melihat pemandangan di hadapanku.

Bagaimana bisa cowok ini terlihat sesempurna itu? Wajahnya yang Chinese agak ke-bule-bule-an jelas kontras dengan cowok-cowok lain di sekolah. Tapi bahasa Indonesia-nya sangat fasih karena katanya dia tinggal di Indonesia waktu kecil.

Aku berusaha  menguasai diri. Susah payah mengumpulkan keberanian untuk melawannya. “Bukan urusanmu! Aku bahkan nggak punya hubungan apa-apa denganmu.” Aku menatapnya tajam.

Dia menatapku lebih tajam setelah mendengar kalimat terakhirku. Aku bisa merasakan dia tidak menyukai ucapanku. Lalu, dengan tenang dia berjalan mendekatiku. “Itu urusanku, semua yang ada padamu adalah urusanku, terutama kalau ada sangkut pautnya dengan Cakka. Sini, biar kulihat apakah hidungmu baik-baik saja.” Dia menarik tanganku.

Tubuhku limbung tak bisa mempertahankan posisiku. Aku berayun begitu saja mendekat ke tubuhnya. Bola basket yang sebelumnya ingin aku lempar untuk membalasnya, malah jatuh ke tanah karena tanganku mendadak terlalu lemah untuk memegangnya. Tubuhku seperti terbakar ketika dia menyentuhku. Di sampingnya, aku seperti lepas kendali.
Sekarang tangannya beralih memeriksa hidungku yang merah dan berdenyut-denyut. Tatapannya tajam menelusuri sudut-sudut wajahku yang terkena bola lemparannya.

Aku berusaha sebisa mungkin menghindari tatapannya.

“Aku nggak papa.” Aku berbohong, mundur selangkah, lalu menunduk. 

“Jangan ngelakuin itu lagi. Aku nggak suka disentuh sembarangan,” ujarku terbata-bata. Kedua tanganku saling meremas di belakang punggung. Entah mengapa, aku selalu gugup di dekatnya. Otakku tidak berfungsi dengan normal.

“Maaf, aku nggak sengaja melukaimu.” Dia menarikku mendekat lagi. Aku juga tidak mencoba melawan, dan membiarkan tangannya memeriksa wajahku. Aku sadar dia musuhku, tapi hatiku tidak berpikiran sama.

Sejak kedatangan Alvin di sekolah ini, hidupku jadi kacau.

Novel : Beautiful Soul (Stefani E.l)