“Sivia, aku mau ngomong sama kamu.” Cakka berjalan
mendekatiku. Seketika hawa di sekitarku berubah beku. Kulitku seperti
tertusuk-tusuk angin yang berhembus memainkan rambut pendekku.
Dia memakai seragam SMA yang tidak dikancingkan hingga atas,
sengaja ingin menimbulkan kesan menggoda. Setelah itu, dia mengumbar senyum
yang menurut banyak orang seharusnya melelehkanku. Tapi di mataku senyuman itu
justru terlihat seperti seringai harimau yang siap memangsa buruannya.
Aku menelan ludah dan terkesiap ngeri ketika menyadari dia
sudah dekat denganku. Sekitarku berubah sepi dan hanya langkahnya yang
terdengar.
“Tapi aku nggak mau,” jawabku singkat dan segera berbalik
untuk pergi dari situ. Kakiku bergerak sangat cepat menapaki lantai lorong
sekolah yang agak basah dan licin karena hujan. Biasanya Cakka akan mengejar
dan memaksakan kehendaknya. Maka, solusi terbaik yang kupunya adalah pergi
secepatnya dan bersembunyi di balik tembok samping lapangan basket.
Lebih dari setahun dia mencoba mendekatiku. Aku sudah
menggunakan segala cara untuk menolaknya, tapi dia tak juga berhenti, malah
semakin menjadi-jadi. Semua temanku menganggapku tidak normal karena menolak
Cakka yang notabene pujaan hati ratusan siswi di sekolah ini.
Tapi, aku punya alas
an sendiri untuk menolaknya.
Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
“Bawa dulu anak ini ke
pusat informasi, dia kehilangan orang tuanya. Setelah itu, baru bawa aku
kerumah sakit.” Suara anak kecil yang sebaya denganku itu masih terngiang
di benakku.
Saat hilang di mal dan hampur tertimpa reruntuhan kayu, aku
baru berusia Sembilan tahun. Itu sekitar delapan tahun lalu. Tapi hingga detik
ini, aku masih belum bisa melupakan anak itu. Dia tidak memedulikan tangannya
yang berdarah terkena reruntuhan kayu dan dengan tenang malah menyuruh sopirnya
yang sangat panic ketika menemukannya untuk menolongku.
“Hei!” Seseorang berteriak di belakangku.
Aku berhenti melangkah.
Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin panggilan itu ditujukan
untukku. Tapi sepertinya tak ada salahnya berbalik dan melihat siapa di sana. Menurutku,
berhenti sebentar tidak akan membuat Cakka mampu menemukanku.
Ketika berbalik, aku melihat titik hitam yang bergerak
sangat cepat dan tampak semakin besar ke arahku. Aku mengernyit dan menyipitkan
mata, melihat apa sebenernya titik itu. Detik berikutnya aku menyadari bahwa
itu bola basket yang siap menghantam hidungku.
Aku tahu benakku menyarankan untuk menghindar, tapi kakiku
seperti terpaku di tanah. Aku pun hanya pasrah dan menutup mata, membiarkan
bola itu dengan sukses menghantam wajahku, dan membuat tubuhku terpelanting ke
lapangan yang becek.
“Aw! Hidungku!”
Aku sempat merasakan semuanya tiba-tiba gelap.
Butuh beberapa saat bagiku untuk sepenuhnya tersadar. Setelah
yakin bahwa kepalaku baik-baik saja, aku bangkit berdiri, mengambil bolas
basket tadi, dan dengan langkah berdebum serta amarah membara di dada, aku
menghampiri cowok-cowok yang bermain basket.
“Sialan! Siapa yang sengaja ngelempar bola tadi?!” Aku
berteriak keras ke arah mereka.
Tak ada yang menjawab.
Aku semakin cepat mendekati cowok yang lagaknya paling
menantangku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena kacamataku
tertinggal di tas.
“Gimana? Otakmu udah baikan kena lemparan tadi? Atau perlu
aku lempar sekali lagi untuk memastikan otakmu masih berfungsi?” Suaranya
congkak dan menyebalkan. Sama sekali tidak terdengar merasa bersalah.
Dia berdiri dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana dan
memamerkan senyum penuh kelicikan. Siapa lagi kalau bukan Alvin Jonathan
Sindhunata, anak pindahan baru yang entah kenapa selalu cari masalah denganku.
“sebenernya otak siapa yang nggak jalan? Lagi pula, aku
nggak merasa ngelakuin sesuatu yang membuatmu harus membenahi otakku!” tanganku
mengepal dan tangan yang lain siap melemparkan bola basket ini ke mukanya. Cuaca
dingin di sekitarku tak berhasil meredam
amarahku.
Dia mengangkat bahu. “Yah, aku hanya khawatir otakmu membeku
karena terlalu lama dekat dengan pujaan hatimu itu. Siapa namanya? Cakka
Nuraga?” Senyum penuh cela itu tersungging di wajahnya.
Sekarang aku hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri
hingga bisa melihat wajah dan tubuhnya dengan jelas. Seragamnya basah kuyup. Dia
pasti sudah bermain di lapangan ini sejak hujan dimulai sekitar satu jam yang
lalu.
Lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas karena seragam
basah itu lepek di tubuhnya. Aku menelan ludah melihat pemandangan di
hadapanku.
Bagaimana bisa cowok ini terlihat sesempurna itu? Wajahnya yang
Chinese agak ke-bule-bule-an jelas kontras dengan cowok-cowok lain di sekolah. Tapi
bahasa Indonesia-nya sangat fasih karena katanya dia tinggal di Indonesia waktu
kecil.
Aku berusaha
menguasai diri. Susah payah mengumpulkan keberanian untuk melawannya. “Bukan
urusanmu! Aku bahkan nggak punya hubungan apa-apa denganmu.” Aku menatapnya
tajam.
Dia menatapku lebih tajam setelah mendengar kalimat
terakhirku. Aku bisa merasakan dia tidak menyukai ucapanku. Lalu, dengan tenang
dia berjalan mendekatiku. “Itu urusanku, semua yang ada padamu adalah urusanku,
terutama kalau ada sangkut pautnya dengan Cakka. Sini, biar kulihat apakah
hidungmu baik-baik saja.” Dia menarik tanganku.
Tubuhku limbung tak bisa mempertahankan posisiku. Aku berayun
begitu saja mendekat ke tubuhnya. Bola basket yang sebelumnya ingin aku lempar
untuk membalasnya, malah jatuh ke tanah karena tanganku mendadak terlalu lemah
untuk memegangnya. Tubuhku seperti terbakar ketika dia menyentuhku. Di sampingnya,
aku seperti lepas kendali.
Sekarang tangannya beralih memeriksa hidungku yang merah dan
berdenyut-denyut. Tatapannya tajam menelusuri sudut-sudut wajahku yang terkena
bola lemparannya.
Aku berusaha sebisa mungkin menghindari tatapannya.
“Aku nggak papa.” Aku berbohong, mundur selangkah, lalu
menunduk.
“Jangan ngelakuin itu lagi. Aku nggak suka disentuh sembarangan,”
ujarku terbata-bata. Kedua tanganku saling meremas di belakang punggung. Entah
mengapa, aku selalu gugup di dekatnya. Otakku tidak berfungsi dengan normal.
“Maaf, aku nggak sengaja melukaimu.” Dia menarikku mendekat
lagi. Aku juga tidak mencoba melawan, dan membiarkan tangannya memeriksa
wajahku. Aku sadar dia musuhku, tapi hatiku tidak berpikiran sama.
Sejak kedatangan Alvin di sekolah ini, hidupku jadi kacau.
Novel : Beautiful Soul (Stefani E.l)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar