Minggu, 03 Juni 2012

Beautiful Soul PROLOG -Versi ALVIA-


“Sivia, aku mau ngomong sama kamu.” Cakka berjalan mendekatiku. Seketika hawa di sekitarku berubah beku. Kulitku seperti tertusuk-tusuk angin yang berhembus memainkan rambut pendekku.

Dia memakai seragam SMA yang tidak dikancingkan hingga atas, sengaja ingin menimbulkan kesan menggoda. Setelah itu, dia mengumbar senyum yang menurut banyak orang seharusnya melelehkanku. Tapi di mataku senyuman itu justru terlihat seperti seringai harimau yang siap memangsa buruannya.

Aku menelan ludah dan terkesiap ngeri ketika menyadari dia sudah dekat denganku. Sekitarku berubah sepi dan hanya langkahnya yang terdengar.

“Tapi aku nggak mau,” jawabku singkat dan segera berbalik untuk pergi dari situ. Kakiku bergerak sangat cepat menapaki lantai lorong sekolah yang agak basah dan licin karena hujan. Biasanya Cakka akan mengejar dan memaksakan kehendaknya. Maka, solusi terbaik yang kupunya adalah pergi secepatnya dan bersembunyi di balik tembok samping lapangan basket.

Lebih dari setahun dia mencoba mendekatiku. Aku sudah menggunakan segala cara untuk menolaknya, tapi dia tak juga berhenti, malah semakin menjadi-jadi. Semua temanku menganggapku tidak normal karena menolak Cakka yang notabene pujaan hati ratusan siswi di sekolah ini. 
 Tapi, aku punya alas an sendiri untuk menolaknya.

Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

“Bawa dulu anak ini ke pusat informasi, dia kehilangan orang tuanya. Setelah itu, baru bawa aku kerumah sakit.” Suara anak kecil yang sebaya denganku itu masih terngiang di benakku.

Saat hilang di mal dan hampur tertimpa reruntuhan kayu, aku baru berusia Sembilan tahun. Itu sekitar delapan tahun lalu. Tapi hingga detik ini, aku masih belum bisa melupakan anak itu. Dia tidak memedulikan tangannya yang berdarah terkena reruntuhan kayu dan dengan tenang malah menyuruh sopirnya yang sangat panic ketika menemukannya untuk menolongku.

“Hei!” Seseorang berteriak di belakangku.

Aku berhenti melangkah.

Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin panggilan itu ditujukan untukku. Tapi sepertinya tak ada salahnya berbalik dan melihat siapa di sana. Menurutku, berhenti sebentar tidak akan membuat Cakka mampu menemukanku.

Ketika berbalik, aku melihat titik hitam yang bergerak sangat cepat dan tampak semakin besar ke arahku. Aku mengernyit dan menyipitkan mata, melihat apa sebenernya titik itu. Detik berikutnya aku menyadari bahwa itu bola basket yang siap menghantam hidungku.

Aku tahu benakku menyarankan untuk menghindar, tapi kakiku seperti terpaku di tanah. Aku pun hanya pasrah dan menutup mata, membiarkan bola itu dengan sukses menghantam wajahku, dan membuat tubuhku terpelanting ke lapangan yang becek.

“Aw! Hidungku!”

Aku sempat merasakan semuanya tiba-tiba gelap.

Butuh beberapa saat bagiku untuk sepenuhnya tersadar. Setelah yakin bahwa kepalaku baik-baik saja, aku bangkit berdiri, mengambil bolas basket tadi, dan dengan langkah berdebum serta amarah membara di dada, aku menghampiri cowok-cowok yang bermain basket.

“Sialan! Siapa yang sengaja ngelempar bola tadi?!” Aku berteriak keras ke arah mereka.

Tak ada yang menjawab.

Aku semakin cepat mendekati cowok yang lagaknya paling menantangku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena kacamataku tertinggal di tas.

“Gimana? Otakmu udah baikan kena lemparan tadi? Atau perlu aku lempar sekali lagi untuk memastikan otakmu masih berfungsi?” Suaranya congkak dan menyebalkan. Sama sekali tidak terdengar merasa bersalah.
Dia berdiri dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana dan memamerkan senyum penuh kelicikan. Siapa lagi kalau bukan Alvin Jonathan Sindhunata, anak pindahan baru yang entah kenapa selalu cari masalah denganku.

“sebenernya otak siapa yang nggak jalan? Lagi pula, aku nggak merasa ngelakuin sesuatu yang membuatmu harus membenahi otakku!” tanganku mengepal dan tangan yang lain siap melemparkan bola basket ini ke mukanya. Cuaca dingin di  sekitarku tak berhasil meredam amarahku.

Dia mengangkat bahu. “Yah, aku hanya khawatir otakmu membeku karena terlalu lama dekat dengan pujaan hatimu itu. Siapa namanya? Cakka Nuraga?” Senyum penuh cela itu tersungging di wajahnya.
Sekarang aku hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri hingga bisa melihat wajah dan tubuhnya dengan jelas. Seragamnya basah kuyup. Dia pasti sudah bermain di lapangan ini sejak hujan dimulai sekitar satu jam yang lalu.

Lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas karena seragam basah itu lepek di tubuhnya. Aku menelan ludah melihat pemandangan di hadapanku.

Bagaimana bisa cowok ini terlihat sesempurna itu? Wajahnya yang Chinese agak ke-bule-bule-an jelas kontras dengan cowok-cowok lain di sekolah. Tapi bahasa Indonesia-nya sangat fasih karena katanya dia tinggal di Indonesia waktu kecil.

Aku berusaha  menguasai diri. Susah payah mengumpulkan keberanian untuk melawannya. “Bukan urusanmu! Aku bahkan nggak punya hubungan apa-apa denganmu.” Aku menatapnya tajam.

Dia menatapku lebih tajam setelah mendengar kalimat terakhirku. Aku bisa merasakan dia tidak menyukai ucapanku. Lalu, dengan tenang dia berjalan mendekatiku. “Itu urusanku, semua yang ada padamu adalah urusanku, terutama kalau ada sangkut pautnya dengan Cakka. Sini, biar kulihat apakah hidungmu baik-baik saja.” Dia menarik tanganku.

Tubuhku limbung tak bisa mempertahankan posisiku. Aku berayun begitu saja mendekat ke tubuhnya. Bola basket yang sebelumnya ingin aku lempar untuk membalasnya, malah jatuh ke tanah karena tanganku mendadak terlalu lemah untuk memegangnya. Tubuhku seperti terbakar ketika dia menyentuhku. Di sampingnya, aku seperti lepas kendali.
Sekarang tangannya beralih memeriksa hidungku yang merah dan berdenyut-denyut. Tatapannya tajam menelusuri sudut-sudut wajahku yang terkena bola lemparannya.

Aku berusaha sebisa mungkin menghindari tatapannya.

“Aku nggak papa.” Aku berbohong, mundur selangkah, lalu menunduk. 

“Jangan ngelakuin itu lagi. Aku nggak suka disentuh sembarangan,” ujarku terbata-bata. Kedua tanganku saling meremas di belakang punggung. Entah mengapa, aku selalu gugup di dekatnya. Otakku tidak berfungsi dengan normal.

“Maaf, aku nggak sengaja melukaimu.” Dia menarikku mendekat lagi. Aku juga tidak mencoba melawan, dan membiarkan tangannya memeriksa wajahku. Aku sadar dia musuhku, tapi hatiku tidak berpikiran sama.

Sejak kedatangan Alvin di sekolah ini, hidupku jadi kacau.

Novel : Beautiful Soul (Stefani E.l)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar