Jumat, 07 September 2012

Beautiful Soul Part 2 -Versi ALVIA-


Chapter 2 : Bukan Urusanmu

“Kamu dari mana aja kemarin? Berkali-kali aku telepon ponselmu masuk mailbox terus.” Dengan panic dan tergesa-gesa, Cakka mendatangiku yang sedang duduk-duduk di pinggiran lapangan basket.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya cepat-cepat ketika menyadari kedatangan Cakka, masih mencoba tenang dan menahan langkahku untuk tidak pergi dari sini untuk menghindarinya. Aku ingin bermain basket sore ini dan tidak ingin mood-ku hancur hanya karena Cakka.

“Bukan urusanmu,” jawabku ketus, lalu berdiri sambil meneguk air mineral yang sejak tadi kugenggam.

Cakka menahan tanganku, lalu dengan sedikit kekuatan memaksaku kembali duduk di bangku semen pinggir lapangan basket. Matanya seolah menyelidikku dengan seksama.

“Itu urusanku. Aku mau tahu ke mana kamu kemarin malam, Via?” Dia menatapku tajam.

Ini pertama kalinya dia berbuat begitu padaku. Sebelumnya, dia bahkan tidak berani menahan tanganku jika aku pergi meninggalkannya. Kini, dia memaksaku menuruti keinginannya. Seperti ada yang berubah dalam tatapan Cakka. Dia seperti menahan amarah dan keingintahuan yang meluap-luap dalam benaknya agar tidak bertindak kasar padaku. Tapi, kenapa dia sebegitu ingin tahu?

“Itu sama sekali bukan urusanmu!” ulangku, memutar bola mata dan sedikit membentaknya. Kenapa dia harus mengingatkanku pada kejadian semalam yang sangat tidak ingin kuingat?! Semalam adalah malam terburukku karena melihat seorang cowok mempermainkan tiga cewek sekaligus.

“Dan sekarang lepas tanganku!” Aku membentaknya lagi lebih keras dan menyentak tanganku dari cengkeramannya. Tak seorang pun di lapangan basket itu berani menolongku. Gabriel,  Duto, Prissy, atau siapa pun. Mereka tahu, berurusan dengan Cakka ketika dia dekat denganku seperti ini berarti cari mati.

Itu sudah pernah terbukti. Waktu Cakka memaksa berbicara denganku dan tentu saja aku menolak, seorang cowok culun berkacamata tebal berusaha menghentikan Cakka. Kali itu berhasil, Cakka melepaskanku.  Tapi, keesokan harinya, anak culun itu tidak masuk sekolah dengan alasan demam. Lalu ketika dia masuk keesokan harinya lagi, mata kanannya lebam. Aku panic, menghampirinya, dan menanyakan kenapa matanya lebam, tapi aku tidak mendapat jawaban apa pun. Dia malah lari ketakutan dan memohon kepadaku untuk tidak dekat-dekat dengannya lagi.

Aku yakin itu pasti perbuatan Cakka. Tapi ketika aku melabrak Cakka, dia menyangkalnya. Siswi lain malah menuduh anak itu yang sengaja cari gara-gara sama Cakka, jadi sudah sepantasnya dihajar. Kebencianku terhadap Cakka semakin bertambah.

“Kamu tuli? Dia minta dilepaskan. Kamu nggak denger?” Seseorang berbicara dengan santai sambil berjalan menghampiriku. Langkahnya tenang dan mantap.

Aku menoleh, mencari tahu siapa yang berani melakukan itu. Dan ketika aku melihat wajahnya, dia sudah berhenti melangkah dan kini tepat di sampingku.

Alvin! Berani sekali dia! Itu pasti karena dia belum tahu dengan siapa dia berhadapan sekarang.

“Jangan ikut campur, ini nggak ada hubungannya sama kamu.” Cengkeraman tangan Cakka melemah. Kemudian berdiri dan memandang rendah Alvin. Tatapan Cakka sudah cukup menyampaikan ancamannya.

“Lalu, apa kamu punya hubungan dengan cewek ini? Kenapa dia ngotot minta kamu lepaskan?” Dengan santai Alvin memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Senyum itu. Entak mengapa senyum itu selalu berhasil menghipnotisku. Aku selalu terpaku setiap kali melihatnya. Kemudian aku sadar apa yang sedang kulakukan, mengagumi pada saat yang sangat tidak tepat.

“Siapa di antara kalian yang bernama Alvin Jonathan ?!” Seorang pria bertubuh besar tiba-tiba muncul dari seberang lapangan basket. Dia berkemeja dan mengenakan celana panjang hitam. Kulitnya pun hitam. Dia tampak seperti bodyguard yang sering kulihat di TV.

Pasti Pak Satpam di gerbang sekolah molor lagi deh, makanya orang seram seperti dia bisa masuk.

Alvin terpaku di tempat, tidak menoleh mendengar panggilan tadi. Aku berdiri lalu melewati Alvin dan Cakka mendekati orang tadi.

“Banyak yang bernama Alvin Jonathan di sekolah ini. Bapak cari siapa?” Aku menyipitkan mata memperhatikan gerak-gerik orang ini. Mencurigakan sekali. Aku yakin dia tidak pernah melihat wajah Alvin Jonathan.

“Alvin Jonathan, kelas XII IPA-1. Apa ada di antara kalian yang bernama Alvin Jonathan?” Dia melihat ke catatan kecil di telapak tangannya, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh wajah di lapangan. Tapi, dia tidak juga menyadari bahwa Alvin ada di sana. Ternyata benar dugaanku, orang ini hanya suruhan orang lain. Dia tidak kenal dengan Alvin! Mau apa dia?

“Dia nggak ada di sini. Kenapa?” Aku menjawab sesantai mungkin. Jantungku berdetak lebih cepat karena kebohongan yang kuucapkan.
Sedetik kemudian baru aku menyadari apa yang kulakukan. Kenapa aku melindungi Alvin? Dia kan musuh bebuyutanku.

“Vi, Alvin kan ada di situ. Kenapa kamu bilang nggak ada?” Oik menyahut dengan polos dan bingung. Dia bahkan menunjuk yang mana Alvin di antara kami.

Aku menelan ludah, panic.

Aduh! Oik ember banget sih? Sekarang gimana nasibku?

“Kenapa kamu bilang nggak ada? Kamu berani berbohong sama saya, hah?” Pria itu berjalan cepat ke arahku dengan marah. Napasku memburu dan aku ketakutan. Aku berusaha tidak menunjukkan ketakutanku, tapi jujur saja, kakiku gemetaran dan aku tak bisa menggerakkannya untuk pergi dari sana.

Pria itu semakin mendekat dan hampir meraihku. Aku membayangkan tangan besar itu akan mencengkeram kerah bajuku dan melemparkanku ke sudut lain lapangan.

“Jangan-pernah-sentuh-dia!” Alvin tiba-tiba berdiri di depanku. Dia menatap tajam pria itu sambil mengacungkan jari telunjuknya. Kata-katanya tegas dan jelas.

Pria itu kaget dan terpaku. Dia menatap Alvin lurus-lurus, seperti memperhatikan wajahnya.

“Maaf,” kata pria tadi setelah sekian lama hanya berdiri terpaku melihat Alvin melindungku.

Melindungku? Ngapain dia melindungi aku? Cih, sok jagoan!

“Pergi! Aku tahu untuk apa kalian ke sini. Kita bicarakan itu nanti, jangan disekolah. Dan ingat baik-baik, jangan pernah sentuh cewek ini! Sekarang PERGI!” Suara Alvin menggelegar. Mendadak, dia seperti pembunuh bersarah dingin. Tangan kirinya bergerak cepat mengusir pria tadi.

“Baik, kami tunggu di luar sekolah.” Pria itu lalu pergi meninggalkan lapangan.

Hatiku mencelos. Bagaimana bisa hanya dengan beberapa kata Alvin membuat pria sangar seperti macan itu tunduk? Siapa sebenernya Alvin?
Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri ketika Alvin berbalik dan menghadapku. “Kamu nggak papa, kan?” Alvin menunduk dan mengamati wajahku yang masih mengernyit karena berkutat dengan hal-hal yang tak bisa kudapatkan jawabannya.

“ Dia belum sempat nyentuh kamu, kan?” Alvin mengangkat daguku dan menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri. Mengamati setiap jengkal wajahku.

“Aku nggak papa. Trims.” Aku melangkah mundur sambil menyingkirkan tangannya dari wajahku. Aku bisa merasakan wajahku memanas karena tindakannya tadi.

“Sivia, kamu nggak papa?” Cakka tiba-tiba berdiri mendesak Alvin untuk menyingkir dan menyentuh wajahku seperti yang di lakukan Alvin.

Aku menampar tangannya lalu mundur selangkah lagi. “Aku nggak suka di pegang sembarangan!” Aku melotot padanya.

Cakka menatapku protes karena aku tidak menampar tangan Alvin tadi. Aku sendiri tidak mengerti apa yang sebenernya terjadi. Entah kenapa terasa sangat berbeda ketika Alvin yang melakukannya.

Aku merasakan seluruh lapangan memperhatikan kami bertiga. Sangat tidak nyaman. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan lapangan basket dan pulang.

Aku perlu cokelat panas untuk menenangkan pikiranku. Samar-samar aku mendengar Cakka memanggilku beberapa kali, tapi aku tidak memedulikannya dan semakin mempercepat langkahku.


“Aku nggak mood ke mana-mana hari ini. Pulang aja ya aku ngantuk.” Aku memasang sabuk pengaman lalu bersandar di kursi mobil Cakka Perutku sangat penuh sekarang. Aku mengisinya dengan seporsi nasi goreng ikan  dan ayam hainam. Kini, mataku mulai meredup.

“Jangan pulang dulu. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Oke?” Cakka belum juga melajukan mobilnya keluar dari parkiran rumah makan. Dia masih duduk menghadapku dan mengamati wajahku seperti pelukis yang mengamati objek yang akan digambarnya di kavas.

“Aku nggak suka dipandangi begitu, seperti anak kecil minta balon.” Aku menguap, mataku berair. Aku mengancingkan jaket hingga leher. Entah kenapa aku terus aja kedinginan.

“Kamu itu cantik, amore…” Cakka masih tersenyum memandangi wajahku.

“Dan satu catatan lagi buat kamu, aku bahkan nggak ingat udah berapa kali ngomong ini ke kamu, aku nggak suka dipanggil amore begitu. Jauh lebih baik kalo kamu panggil aku Sivia! Catat itu baik-baik!” bentakku. Aku tidak suka mendengarnya memanggilku seperti itu, membuat bulu kudukku berdiri ketika mendengarnya. Sama sekali tidak nyaman.

“Yaaa..yaaa… Seribu kali pun kamu ngomong gitu ke aku, nggak akan pernah mengubah caraku memanggil  namamu. Coba saja.”

Aku mengembuskan napas panjang dan membuang muka darinya. “Terserah,” ujarku sinis.

“Kamu cantik, Amore. Semakin kamu marah, semakin cantik,” bisik Cakka kemudian tertawa kecil, dan mulai melajukan mobilnya.

Aku memilih tidak menanggapi apapun yang dikatakannya barusan dan tetap melihat ke luar jendela mobil.

Mengatakan aku cantik sama saja dengan mengatakan “wajah ayam itu menggemaskan”. Karena kenyataannya, aku memang nggak cantik. Mata, pipi, bibir, dagu, dan hampir semua bagian wajah maupun tubuhku bercirikan orang Indonesia. Hanya hidung dan rambutku yang mewarisi papaku yang asli Belgia. Tapi, bukan berarti perpaduan semua bagian itu terlihat sempurna. Setiap orang yang mengatakan aku cantik, dapat aku pastikan tidak lama lagi akan menjalani operasi saraf mata.

Beda dengan cowok SMA lainnya, Cakka memang sudah dibebaskan nyetir mobil sendiri. Entah orangtuanya terlalu bebas atau terlalu sibuk. Cakka menjalankan mobilnya ke pusat kota, kemudian berhenti di depan butik yang dari depan tidak tampak terlalu besar. Tapi tidak diragukan lagi, harga pakaian di butik itu akan membuatku sesak napas dengan sukses.

“Kenapa berhenti di sini?” Aku meninggikan sebelah alis, merasakan hawa-hawa nggak beres.

“Turun aja, nanti kamu tahu sendiri.” Cakka tersenyum lagi. Dia melepaskan sabuk pengamannya lalu menghadap ke arah ku, mecoba melepas sabuk pengamanku.

“Nggak! Aku nggak mau!” bentakku.

“Bisa nggak sih suaramu pelan sedikit?” Cakka menutup telinganya sambil memejamkan sebelah mata. Senym di wajahnya terlihat sangat licik. Dia malah tampak excited ingin melaksanakan rencananya.

“Nggak.” Aku diam dan menatap lurus ke depan, menolak melihat wajah yang akan memancing emosiku itu.

“Jadi, kamu nggak mau turun nih? Kalau gitu terpaksa…” Cakka tidak menyelesaikan kalimatnya dan langsung turun dari mobil. Dia berjalan ke belakang mobil dan berputar ke arah pintuku. Beberapa menit kemudian dia membuka pintuku dan membungkuk untuk memasukkan sepruh badannya ke dalam mobil.

“Mau apa kamu?!” Aku panic melihat tindakannya dan secara spontan menekankan jari telunjukku ke jidatnya, mendorongnya menjauh.

“Kalo kamu nggak mau turun, aku paksa kamu turun.” Dia sudah menyiapkan tangannya untuk membopongku.

“Jangan gila! Oke, oke! Aku turun! Puas?!”
Begitu aku turun, dia langsung menarik tanganku. “Ikut aku masuk!”
Seperti biasa, dia menggenggam tanganku kuat-kuar, membuatku tidak bisa melepaskan diri.

Kami berdua melangkah masuk ke butik. Dan begitu masuk, aku sangat tercengang. Bagaimana mungkin tak ada seorang pun di dalam sana? Apakah butik ini hampir tutup dank arena Cakka merasa kasihan maka ia mampir ke sini? Dermawan sekali dia.

“PERMISI!” Cakka berteriak ketika belum ada seorang pun yang menyadari kehadiran kami. Dia meneriakkan kata itu sekitar lima atau enak kali.

Baru setelah teriakkan keenam, seorang wanita berpenampilan “wah” keluar dari dalam butik itu. Wanita itu berusia sekitar 30 tahun, mengenakan tank top kuning cerah, celana jins ketat yang sangat minim, dan high heels setinggi kira-kira 12 cm. tidak lupa dia menambahkan syal bulu berwarna pink muda yang terlihat mahal, serta stocking hitam yang membuatnya terlihat lebih muda beberapa tahun.

Mulutku menganga lebar ketika melihatnya melenggak-lenggok centil menghampiri tempat kami berdiri. Aku tidak menyangkan species seperti ini masih bertahan hidup pada zaman ini. Bawah matanya mulai menunjukkan beberapa kerutan yang coba dia tutupi dengan makeup supertebal yang entah hutuh berapa lama memolesnya.

“Ada apa, Cakka? Tumben ke sini malam-malam begini? Padahal tante udah siap-siap tidur.” Wanita tadi menguap sedikit tapi tetap tersenyum lebar.

Cakka tersenyum sedikit. “Tolong carikan cewek ini beberapa gaun yang dia sukai.”

Aku mendelik. Perhatianku yang sebelumnya pada wanita ini beralih penuh pada perkataan Cakka barusan. “ Untuk apa?” Spontak aku berteriak lagi pada Cakka, mengagetkannya, juga tante itu.

“Nggak papa. Aku belum ngasih kamu hadiah kenaikan kelas kemarin.” Dia menjawabku santai, nyaris menyetuh poniku, tapi aku menampar tangannya.

“Aku nggak pernah minta hadian apa pun darimu!” Aku menyipitkan mata, mengatakan apa yang ada di dalam benakku dengan lugas dan sedikit kasar.

“Memang. Aku yang mau ngasih kamu hadian, Amore. Kan aku udah bilang tadi…” Cakka semakin lancing. Dia tertawa kecil.

“Nggak, aku nggak mau! Aku pulang sekarang!” Aku berbalik dan mengambil langkah seribu, keluar dari butik. Rambutku berkibar dan leherku merinding ketika angin malam menyentuh kulitku. Sekali lagi aku merapatkan jaket dan berjalan menjauhi butik , menuju keramaian, dan mencari taksi.

“Sivia!” itu pasti Cakka yang mengejarku. Aku berusaha secepat mungkin menghindarinya.

“Sivia, tunggu! Berhenti!” Dia menarik lenganku dan memutar tubuhku. Napasnya tersengal-sengal setelah mengejarku tadi. Matanya memerah dan sedikit berair.

“Jangan pernah ngelakuin itu lagi ke aku! Aku nggak suka! Aku bisa beli sendiri! Aku bukan anak jalanan yang harus kamu sumbang pakaian! Sejak kapan kamu jadi seperti ini?” Aku membentaknya seperti orang gila dan meluapkan semua amarahku. Untung tidak terlalu banyak orang disana. Hanya beberapa pejalan kaki yang melihat ke arah kami, tapi kemudian memalingkan wajah lagi karena sadar tak seharusnya mereka ikut campur.

“Amore, kenapa semua yang aku lakuin selalu salah di matamu? Setahun lebih aku ngejar kamu, tapi apa yang aku dapat? Semakin aku mendekat, kamu semakin menjaga jarak. Kamu membuatku gila, Amore!” Cakka balas membentakku. Ini pertama kalinya dia bicara kasar padaku. Selama dua tahun dia masih bisa menyembunyikan amarahnya meskipun aku sudah menyakitinya.

“Kalo gitu, berhenti ngejar aku! Berhenti ngelakuin semua ini!” Aku tidak mau kalah. Daguku kuangkat tinggi-tinggi. Mataku berkilat-kilat menatapnya.

“Aku nggak bisa! Aku sayang sama kamu, Amore! Kenapa? Kenapa kamu nggak mau membuka hati buat aku? Kenapa?!” Matanya semakin memerah dan berair. Sepertinya dia hampir menangis. Aku tak bisa melihathnya dengan jelas. Jalanan ini cukup gelap dan hanya dua lampu jalan yang ada sebagai penerangan.

“Karena aku nggak suka sama kamu, Cakka! Aku nggak pernah mencoba menyukaimu dan nggak akan pernah mencoba! Aku nggak mau dipaksa! Perasaanku adalah milikku!” Aku berteriak, kemudian berbalik dan berlari menjauhi Cakka. Dari jauh aku melihat taksi kosong mengkal di pinggir jalan.

Aku berlari lebih cepat menghampiri taksi itu. Aku mendengar langkah yang mengikutiku, lebih cepat daripada langkahku. Tapi, aku tidak memedulikannya. Pokoknya aku harus cepat-cepat masuk ke taksi itu.

“Hei, jangan naik taksi. Aku antar kamu pulang.” Cowok bule Chinese bertubuh jangkung menutupi pintu taksi tepat ketika tanganku terulur dan hampir membuka pintu. Suaranya berat dan sangat kukenal.

Aku mendongak dan berkedip beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku.

Alvin Jonathan?!

Apa aku tidak salah lihat? Aku mulai rabun, ya? Aku menunduk lalu mengucek mata, kemudian berkedip beberapa kali lagi, mendongak lagi, dan mendapati bahwa itu benar-benar Alvin!

Dia menarik tanganku menyeberangi jalan dan menjauhi taksi.

Aku tidak melawan. Aneh sekali! Aku bukan tidak ingin melawan, tapi aku tidak mampu. Tangannya hangat dan besar menggandeng tanganku menuju mobilnya.

Kenapa dia bisa ada di sini?!


“Trims.” Aku meliriknya sedikit ketiak mobil Alvin berhenti di depan tempat kosku.

“Sama-sama.” Dia menjawabku singkat dan dingin. Bahkan dia menatap lurus ke depan, tanpa melirikku sedikit pun.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku terlalu lelah untuk membahas banyak hal dengannya. Sebenarnya aku berkali-kali ingin menanyakan kenapa dia bisa ada disana. Tapi, aku tidak siap dengan jawaban yang biasa-biasa saja. Entah mengapa hatiku berharap jawaban luar biasa seperti “aku memang mengikutimu”. Tapi, aku tahu itu tidak mungkin. Maka, aku memilih tidak bertanya.

Aku melepas sabuk pengaman , lalu membuka pintu.

“Aku…” Aku ingin berpamitan, tapi tiba-tiba tangan Alvin menahanku keluar dari mobil.

Aku melihatnya, tapi, dia masih tetap menatap lurus ke depan, tidak menoleh ke arahku.

“Kenapa?” Aku sedikit tergagap. Tangannya menggenggam tanganku kencang sekali, seolah tidak ingin aku pergi. Tapi, tentu saja itu hanya perasaanku.

“Nggak, nggak papa.” Semenit kemudian cengkeramannya mengendur dan melepas tanganku. Dia tetap menatap lurus ke depan, lalu membenarkan letak sabuk pengamannya. Siku tangan kanannya bertopang pada panel pintu kemudi sementara jemarinya menopang dagu. Dia terlihat memikirkan sesuatu.

“Ya udah, kalo gitu.. thanks anyway.” Aku melangkah keluar mobil, menutup pintu dengan sangat perlahan , berharap mendengarkan ucapan perpisahan  darinya. Tapi tetap saja tidak terdengar apa pun sampai pintu tertutup rapat dan derum knalpot mobil mengantar kepergian mobil hitam itu, lalu menghilang dari pandanganku.

Alvin Jonathan… Sejak kapan kamu begitu memengaruhi pikiranku?


novel : Beautiful Soul
Pengarang : Stefani E.L 

@thezrgn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar