Chapter 2 : Bukan Urusanmu
“Kamu dari mana aja kemarin? Berkali-kali aku telepon
ponselmu masuk mailbox terus.” Dengan panic dan tergesa-gesa, Cakka
mendatangiku yang sedang duduk-duduk di pinggiran lapangan basket.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya cepat-cepat ketika menyadari kedatangan Cakka, masih mencoba tenang dan menahan langkahku untuk tidak pergi dari sini untuk menghindarinya. Aku ingin bermain basket sore ini dan tidak ingin mood-ku hancur hanya karena Cakka.
“Bukan urusanmu,” jawabku ketus, lalu berdiri sambil meneguk
air mineral yang sejak tadi kugenggam.
Cakka menahan tanganku, lalu dengan sedikit kekuatan
memaksaku kembali duduk di bangku semen pinggir lapangan basket. Matanya seolah
menyelidikku dengan seksama.
“Itu urusanku. Aku mau tahu ke mana kamu kemarin malam,
Via?” Dia menatapku tajam.
Ini pertama kalinya dia berbuat begitu padaku. Sebelumnya,
dia bahkan tidak berani menahan tanganku jika aku pergi meninggalkannya. Kini,
dia memaksaku menuruti keinginannya. Seperti ada yang berubah dalam tatapan
Cakka. Dia seperti menahan amarah dan keingintahuan yang meluap-luap dalam
benaknya agar tidak bertindak kasar padaku. Tapi, kenapa dia sebegitu ingin
tahu?
“Itu sama sekali bukan urusanmu!” ulangku, memutar bola mata
dan sedikit membentaknya. Kenapa dia harus mengingatkanku pada kejadian semalam
yang sangat tidak ingin kuingat?! Semalam adalah malam terburukku karena
melihat seorang cowok mempermainkan tiga cewek sekaligus.
“Dan sekarang lepas tanganku!” Aku membentaknya lagi lebih
keras dan menyentak tanganku dari cengkeramannya. Tak seorang pun di lapangan
basket itu berani menolongku. Gabriel,
Duto, Prissy, atau siapa pun. Mereka tahu, berurusan dengan Cakka ketika
dia dekat denganku seperti ini berarti cari mati.
Itu sudah pernah terbukti. Waktu Cakka memaksa berbicara
denganku dan tentu saja aku menolak, seorang cowok culun berkacamata tebal
berusaha menghentikan Cakka. Kali itu berhasil, Cakka melepaskanku. Tapi, keesokan harinya, anak culun itu tidak
masuk sekolah dengan alasan demam. Lalu ketika dia masuk keesokan harinya lagi,
mata kanannya lebam. Aku panic, menghampirinya, dan menanyakan kenapa matanya
lebam, tapi aku tidak mendapat jawaban apa pun. Dia malah lari ketakutan dan
memohon kepadaku untuk tidak dekat-dekat dengannya lagi.
Aku yakin itu pasti perbuatan Cakka. Tapi ketika aku
melabrak Cakka, dia menyangkalnya. Siswi lain malah menuduh anak itu yang
sengaja cari gara-gara sama Cakka, jadi sudah sepantasnya dihajar. Kebencianku
terhadap Cakka semakin bertambah.
“Kamu tuli? Dia minta dilepaskan. Kamu nggak denger?”
Seseorang berbicara dengan santai sambil berjalan menghampiriku. Langkahnya
tenang dan mantap.
Aku menoleh, mencari tahu siapa yang berani melakukan itu.
Dan ketika aku melihat wajahnya, dia sudah berhenti melangkah dan kini tepat di
sampingku.
Alvin! Berani sekali
dia! Itu pasti karena dia belum tahu dengan siapa dia berhadapan sekarang.
“Jangan ikut campur, ini nggak ada hubungannya sama kamu.”
Cengkeraman tangan Cakka melemah. Kemudian berdiri dan memandang rendah Alvin.
Tatapan Cakka sudah cukup menyampaikan ancamannya.
“Lalu, apa kamu punya hubungan dengan cewek ini? Kenapa dia
ngotot minta kamu lepaskan?” Dengan santai Alvin memasukkan kedua tangannya ke
saku celana.
Senyum itu. Entak mengapa senyum itu selalu berhasil
menghipnotisku. Aku selalu terpaku setiap kali melihatnya. Kemudian aku sadar
apa yang sedang kulakukan, mengagumi pada saat yang sangat tidak tepat.
“Siapa di antara kalian yang bernama Alvin Jonathan ?!” Seorang
pria bertubuh besar tiba-tiba muncul dari seberang lapangan basket. Dia
berkemeja dan mengenakan celana panjang hitam. Kulitnya pun hitam. Dia tampak
seperti bodyguard yang sering kulihat di TV.
Pasti Pak Satpam di gerbang sekolah molor lagi deh, makanya
orang seram seperti dia bisa masuk.
Alvin terpaku di tempat, tidak menoleh mendengar panggilan
tadi. Aku berdiri lalu melewati Alvin dan Cakka mendekati orang tadi.
“Banyak yang bernama Alvin Jonathan di sekolah ini. Bapak
cari siapa?” Aku menyipitkan mata memperhatikan gerak-gerik orang ini.
Mencurigakan sekali. Aku yakin dia tidak pernah melihat wajah Alvin Jonathan.
“Alvin Jonathan, kelas XII IPA-1. Apa ada di antara kalian
yang bernama Alvin Jonathan?” Dia melihat ke catatan kecil di telapak
tangannya, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh wajah di lapangan. Tapi,
dia tidak juga menyadari bahwa Alvin ada di sana. Ternyata benar dugaanku,
orang ini hanya suruhan orang lain. Dia tidak kenal dengan Alvin! Mau apa dia?
“Dia nggak ada di sini. Kenapa?” Aku menjawab sesantai
mungkin. Jantungku berdetak lebih cepat karena kebohongan yang kuucapkan.
Sedetik kemudian baru aku menyadari apa yang kulakukan.
Kenapa aku melindungi Alvin? Dia kan musuh bebuyutanku.
“Vi, Alvin kan ada di situ. Kenapa kamu bilang nggak ada?”
Oik menyahut dengan polos dan bingung. Dia bahkan menunjuk yang mana Alvin di
antara kami.
Aku menelan ludah, panic.
Aduh! Oik ember banget
sih? Sekarang gimana nasibku?
“Kenapa kamu bilang nggak ada? Kamu berani berbohong sama
saya, hah?” Pria itu berjalan cepat ke arahku dengan marah. Napasku memburu dan
aku ketakutan. Aku berusaha tidak menunjukkan ketakutanku, tapi jujur saja,
kakiku gemetaran dan aku tak bisa menggerakkannya untuk pergi dari sana.
Pria itu semakin mendekat dan hampir meraihku. Aku
membayangkan tangan besar itu akan mencengkeram kerah bajuku dan melemparkanku
ke sudut lain lapangan.
“Jangan-pernah-sentuh-dia!” Alvin tiba-tiba berdiri di
depanku. Dia menatap tajam pria itu sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Kata-katanya tegas dan jelas.
Pria itu kaget dan terpaku. Dia menatap Alvin lurus-lurus,
seperti memperhatikan wajahnya.
“Maaf,” kata pria tadi setelah sekian lama hanya berdiri
terpaku melihat Alvin melindungku.
Melindungku? Ngapain
dia melindungi aku? Cih, sok jagoan!
“Pergi! Aku tahu untuk apa kalian ke sini. Kita bicarakan
itu nanti, jangan disekolah. Dan ingat baik-baik, jangan pernah sentuh cewek
ini! Sekarang PERGI!” Suara Alvin menggelegar. Mendadak, dia seperti pembunuh
bersarah dingin. Tangan kirinya bergerak cepat mengusir pria tadi.
“Baik, kami tunggu di luar sekolah.” Pria itu lalu pergi
meninggalkan lapangan.
Hatiku mencelos. Bagaimana bisa hanya dengan beberapa kata
Alvin membuat pria sangar seperti macan itu tunduk? Siapa sebenernya Alvin?
Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri ketika Alvin
berbalik dan menghadapku. “Kamu nggak papa, kan?” Alvin menunduk dan mengamati
wajahku yang masih mengernyit karena berkutat dengan hal-hal yang tak bisa
kudapatkan jawabannya.
“ Dia belum sempat nyentuh kamu, kan?” Alvin mengangkat
daguku dan menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri. Mengamati setiap jengkal
wajahku.
“Aku nggak papa. Trims.” Aku melangkah mundur sambil
menyingkirkan tangannya dari wajahku. Aku bisa merasakan wajahku memanas karena
tindakannya tadi.
“Sivia, kamu nggak papa?” Cakka tiba-tiba berdiri mendesak
Alvin untuk menyingkir dan menyentuh wajahku seperti yang di lakukan Alvin.
Aku menampar tangannya lalu mundur selangkah lagi. “Aku
nggak suka di pegang sembarangan!” Aku melotot padanya.
Cakka menatapku
protes karena aku tidak menampar tangan Alvin tadi. Aku sendiri tidak mengerti
apa yang sebenernya terjadi. Entah kenapa terasa sangat berbeda ketika Alvin
yang melakukannya.
Aku merasakan seluruh lapangan memperhatikan kami bertiga.
Sangat tidak nyaman. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan lapangan basket dan
pulang.
Aku perlu cokelat panas untuk menenangkan pikiranku.
Samar-samar aku mendengar Cakka memanggilku beberapa kali, tapi aku tidak
memedulikannya dan semakin mempercepat langkahku.
“Aku nggak mood ke mana-mana hari ini. Pulang aja ya aku
ngantuk.” Aku memasang sabuk pengaman lalu bersandar di kursi mobil Cakka Perutku
sangat penuh sekarang. Aku mengisinya dengan seporsi nasi goreng ikan dan ayam hainam. Kini, mataku mulai meredup.
“Jangan pulang dulu. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Oke?”
Cakka belum juga melajukan mobilnya keluar dari parkiran rumah makan. Dia masih
duduk menghadapku dan mengamati wajahku seperti pelukis yang mengamati objek
yang akan digambarnya di kavas.
“Aku nggak suka dipandangi begitu, seperti anak kecil minta
balon.” Aku menguap, mataku berair. Aku mengancingkan jaket hingga leher. Entah
kenapa aku terus aja kedinginan.
“Kamu itu cantik, amore…” Cakka masih tersenyum memandangi
wajahku.
“Dan satu catatan lagi buat kamu, aku bahkan nggak ingat
udah berapa kali ngomong ini ke kamu, aku nggak suka dipanggil amore begitu. Jauh
lebih baik kalo kamu panggil aku Sivia! Catat itu baik-baik!” bentakku. Aku tidak
suka mendengarnya memanggilku seperti itu, membuat bulu kudukku berdiri ketika
mendengarnya. Sama sekali tidak nyaman.
“Yaaa..yaaa… Seribu kali pun kamu ngomong gitu ke aku, nggak
akan pernah mengubah caraku memanggil
namamu. Coba saja.”
Aku mengembuskan napas panjang dan membuang muka darinya. “Terserah,”
ujarku sinis.
“Kamu cantik, Amore. Semakin kamu marah, semakin cantik,”
bisik Cakka kemudian tertawa kecil, dan mulai melajukan mobilnya.
Aku memilih tidak menanggapi apapun yang dikatakannya
barusan dan tetap melihat ke luar jendela mobil.
Mengatakan aku cantik sama saja dengan mengatakan “wajah
ayam itu menggemaskan”. Karena kenyataannya, aku memang nggak cantik. Mata,
pipi, bibir, dagu, dan hampir semua bagian wajah maupun tubuhku bercirikan
orang Indonesia. Hanya hidung dan rambutku yang mewarisi papaku yang asli
Belgia. Tapi, bukan berarti perpaduan semua bagian itu terlihat sempurna. Setiap
orang yang mengatakan aku cantik, dapat aku pastikan tidak lama lagi akan
menjalani operasi saraf mata.
Beda dengan cowok SMA lainnya, Cakka memang sudah dibebaskan
nyetir mobil sendiri. Entah orangtuanya terlalu bebas atau terlalu sibuk. Cakka
menjalankan mobilnya ke pusat kota, kemudian berhenti di depan butik yang dari
depan tidak tampak terlalu besar. Tapi tidak diragukan lagi, harga pakaian di
butik itu akan membuatku sesak napas dengan sukses.
“Kenapa berhenti di sini?” Aku meninggikan sebelah alis,
merasakan hawa-hawa nggak beres.
“Turun aja, nanti kamu tahu sendiri.” Cakka tersenyum lagi. Dia
melepaskan sabuk pengamannya lalu menghadap ke arah ku, mecoba melepas sabuk
pengamanku.
“Nggak! Aku nggak mau!” bentakku.
“Bisa nggak sih suaramu pelan sedikit?” Cakka menutup
telinganya sambil memejamkan sebelah mata. Senym di wajahnya terlihat sangat
licik. Dia malah tampak excited ingin melaksanakan rencananya.
“Nggak.” Aku diam dan menatap lurus ke depan, menolak
melihat wajah yang akan memancing emosiku itu.
“Jadi, kamu nggak mau turun nih? Kalau gitu terpaksa…” Cakka
tidak menyelesaikan kalimatnya dan langsung turun dari mobil. Dia berjalan ke
belakang mobil dan berputar ke arah pintuku. Beberapa menit kemudian dia
membuka pintuku dan membungkuk untuk memasukkan sepruh badannya ke dalam mobil.
“Mau apa kamu?!” Aku panic melihat tindakannya dan secara
spontan menekankan jari telunjukku ke jidatnya, mendorongnya menjauh.
“Kalo kamu nggak mau turun, aku paksa kamu turun.” Dia sudah
menyiapkan tangannya untuk membopongku.
“Jangan gila! Oke, oke! Aku turun! Puas?!”
Begitu aku turun, dia langsung menarik tanganku. “Ikut aku
masuk!”
Seperti biasa, dia menggenggam tanganku kuat-kuar, membuatku
tidak bisa melepaskan diri.
Kami berdua melangkah masuk ke butik. Dan begitu masuk, aku
sangat tercengang. Bagaimana mungkin tak ada seorang pun di dalam sana? Apakah butik
ini hampir tutup dank arena Cakka merasa kasihan maka ia mampir ke sini? Dermawan
sekali dia.
“PERMISI!” Cakka berteriak ketika belum ada seorang pun yang
menyadari kehadiran kami. Dia meneriakkan kata itu sekitar lima atau enak kali.
Baru setelah teriakkan keenam, seorang wanita berpenampilan “wah”
keluar dari dalam butik itu. Wanita itu berusia sekitar 30 tahun, mengenakan
tank top kuning cerah, celana jins ketat yang sangat minim, dan high heels setinggi
kira-kira 12 cm. tidak lupa dia menambahkan syal bulu berwarna pink muda yang
terlihat mahal, serta stocking hitam yang membuatnya terlihat lebih muda
beberapa tahun.
Mulutku menganga lebar ketika melihatnya melenggak-lenggok
centil menghampiri tempat kami berdiri. Aku tidak menyangkan species seperti
ini masih bertahan hidup pada zaman ini. Bawah matanya mulai menunjukkan
beberapa kerutan yang coba dia tutupi dengan makeup supertebal yang entah hutuh
berapa lama memolesnya.
“Ada apa, Cakka? Tumben ke sini malam-malam begini? Padahal tante
udah siap-siap tidur.” Wanita tadi menguap sedikit tapi tetap tersenyum lebar.
Cakka tersenyum sedikit. “Tolong carikan cewek ini beberapa
gaun yang dia sukai.”
Aku mendelik. Perhatianku yang sebelumnya pada wanita ini
beralih penuh pada perkataan Cakka barusan. “ Untuk apa?” Spontak aku berteriak
lagi pada Cakka, mengagetkannya, juga tante itu.
“Nggak papa. Aku belum ngasih kamu hadiah kenaikan kelas
kemarin.” Dia menjawabku santai, nyaris menyetuh poniku, tapi aku menampar
tangannya.
“Aku nggak pernah minta hadian apa pun darimu!” Aku
menyipitkan mata, mengatakan apa yang ada di dalam benakku dengan lugas dan
sedikit kasar.
“Memang. Aku yang mau ngasih kamu hadian, Amore. Kan aku
udah bilang tadi…” Cakka semakin lancing. Dia tertawa kecil.
“Nggak, aku nggak mau! Aku pulang sekarang!” Aku berbalik
dan mengambil langkah seribu, keluar dari butik. Rambutku berkibar dan leherku
merinding ketika angin malam menyentuh kulitku. Sekali lagi aku merapatkan
jaket dan berjalan menjauhi butik , menuju keramaian, dan mencari taksi.
“Sivia!” itu pasti Cakka yang mengejarku. Aku berusaha
secepat mungkin menghindarinya.
“Sivia, tunggu! Berhenti!” Dia menarik lenganku dan memutar
tubuhku. Napasnya tersengal-sengal setelah mengejarku tadi. Matanya memerah dan
sedikit berair.
“Jangan pernah ngelakuin itu lagi ke aku! Aku nggak suka! Aku
bisa beli sendiri! Aku bukan anak jalanan yang harus kamu sumbang pakaian! Sejak
kapan kamu jadi seperti ini?” Aku membentaknya seperti orang gila dan meluapkan
semua amarahku. Untung tidak terlalu banyak orang disana. Hanya beberapa
pejalan kaki yang melihat ke arah kami, tapi kemudian memalingkan wajah lagi
karena sadar tak seharusnya mereka ikut campur.
“Amore, kenapa semua yang aku lakuin selalu salah di matamu?
Setahun lebih aku ngejar kamu, tapi apa yang aku dapat? Semakin aku mendekat,
kamu semakin menjaga jarak. Kamu membuatku gila, Amore!” Cakka balas
membentakku. Ini pertama kalinya dia bicara kasar padaku. Selama dua tahun dia
masih bisa menyembunyikan amarahnya meskipun aku sudah menyakitinya.
“Kalo gitu, berhenti ngejar aku! Berhenti ngelakuin semua
ini!” Aku tidak mau kalah. Daguku kuangkat tinggi-tinggi. Mataku berkilat-kilat
menatapnya.
“Aku nggak bisa! Aku sayang sama kamu, Amore! Kenapa? Kenapa
kamu nggak mau membuka hati buat aku? Kenapa?!” Matanya semakin memerah dan
berair. Sepertinya dia hampir menangis. Aku tak bisa melihathnya dengan jelas. Jalanan
ini cukup gelap dan hanya dua lampu jalan yang ada sebagai penerangan.
“Karena aku nggak suka sama kamu, Cakka! Aku nggak pernah
mencoba menyukaimu dan nggak akan pernah mencoba! Aku nggak mau dipaksa! Perasaanku
adalah milikku!” Aku berteriak, kemudian berbalik dan berlari menjauhi Cakka. Dari
jauh aku melihat taksi kosong mengkal di pinggir jalan.
Aku berlari lebih cepat menghampiri taksi itu. Aku mendengar
langkah yang mengikutiku, lebih cepat daripada langkahku. Tapi, aku tidak
memedulikannya. Pokoknya aku harus cepat-cepat masuk ke taksi itu.
“Hei, jangan naik taksi. Aku antar kamu pulang.” Cowok bule Chinese
bertubuh jangkung menutupi pintu taksi tepat ketika tanganku terulur dan hampir
membuka pintu. Suaranya berat dan sangat kukenal.
Aku mendongak dan berkedip beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku.
Alvin Jonathan?!
Apa aku tidak salah
lihat? Aku mulai rabun, ya? Aku menunduk lalu mengucek mata, kemudian
berkedip beberapa kali lagi, mendongak lagi, dan mendapati bahwa itu
benar-benar Alvin!
Dia menarik tanganku menyeberangi jalan dan menjauhi taksi.
Aku tidak melawan. Aneh sekali! Aku bukan tidak ingin
melawan, tapi aku tidak mampu. Tangannya hangat dan besar menggandeng tanganku
menuju mobilnya.
Kenapa dia bisa ada di
sini?!
“Trims.” Aku meliriknya sedikit ketiak mobil Alvin berhenti
di depan tempat kosku.
“Sama-sama.” Dia menjawabku singkat dan dingin. Bahkan dia
menatap lurus ke depan, tanpa melirikku sedikit pun.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku terlalu lelah
untuk membahas banyak hal dengannya. Sebenarnya aku berkali-kali ingin
menanyakan kenapa dia bisa ada disana. Tapi, aku tidak siap dengan jawaban yang
biasa-biasa saja. Entah mengapa hatiku berharap jawaban luar biasa seperti “aku
memang mengikutimu”. Tapi, aku tahu itu tidak mungkin. Maka, aku memilih tidak
bertanya.
Aku melepas sabuk pengaman , lalu membuka pintu.
“Aku…” Aku ingin berpamitan, tapi tiba-tiba tangan Alvin menahanku
keluar dari mobil.
Aku melihatnya, tapi, dia masih tetap menatap lurus ke
depan, tidak menoleh ke arahku.
“Kenapa?” Aku sedikit tergagap. Tangannya menggenggam
tanganku kencang sekali, seolah tidak ingin aku pergi. Tapi, tentu saja itu
hanya perasaanku.
“Nggak, nggak papa.” Semenit kemudian cengkeramannya
mengendur dan melepas tanganku. Dia tetap menatap lurus ke depan, lalu
membenarkan letak sabuk pengamannya. Siku tangan kanannya bertopang pada panel
pintu kemudi sementara jemarinya menopang dagu. Dia terlihat memikirkan
sesuatu.
“Ya udah, kalo gitu.. thanks anyway.” Aku melangkah keluar
mobil, menutup pintu dengan sangat perlahan , berharap mendengarkan ucapan
perpisahan darinya. Tapi tetap saja
tidak terdengar apa pun sampai pintu tertutup rapat dan derum knalpot mobil
mengantar kepergian mobil hitam itu, lalu menghilang dari pandanganku.
Alvin Jonathan… Sejak
kapan kamu begitu memengaruhi pikiranku?
novel : Beautiful Soul
Pengarang : Stefani E.L
@thezrgn