Jumat, 07 September 2012

Beautiful Soul Part 2 -Versi ALVIA-


Chapter 2 : Bukan Urusanmu

“Kamu dari mana aja kemarin? Berkali-kali aku telepon ponselmu masuk mailbox terus.” Dengan panic dan tergesa-gesa, Cakka mendatangiku yang sedang duduk-duduk di pinggiran lapangan basket.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya cepat-cepat ketika menyadari kedatangan Cakka, masih mencoba tenang dan menahan langkahku untuk tidak pergi dari sini untuk menghindarinya. Aku ingin bermain basket sore ini dan tidak ingin mood-ku hancur hanya karena Cakka.

“Bukan urusanmu,” jawabku ketus, lalu berdiri sambil meneguk air mineral yang sejak tadi kugenggam.

Cakka menahan tanganku, lalu dengan sedikit kekuatan memaksaku kembali duduk di bangku semen pinggir lapangan basket. Matanya seolah menyelidikku dengan seksama.

“Itu urusanku. Aku mau tahu ke mana kamu kemarin malam, Via?” Dia menatapku tajam.

Ini pertama kalinya dia berbuat begitu padaku. Sebelumnya, dia bahkan tidak berani menahan tanganku jika aku pergi meninggalkannya. Kini, dia memaksaku menuruti keinginannya. Seperti ada yang berubah dalam tatapan Cakka. Dia seperti menahan amarah dan keingintahuan yang meluap-luap dalam benaknya agar tidak bertindak kasar padaku. Tapi, kenapa dia sebegitu ingin tahu?

“Itu sama sekali bukan urusanmu!” ulangku, memutar bola mata dan sedikit membentaknya. Kenapa dia harus mengingatkanku pada kejadian semalam yang sangat tidak ingin kuingat?! Semalam adalah malam terburukku karena melihat seorang cowok mempermainkan tiga cewek sekaligus.

“Dan sekarang lepas tanganku!” Aku membentaknya lagi lebih keras dan menyentak tanganku dari cengkeramannya. Tak seorang pun di lapangan basket itu berani menolongku. Gabriel,  Duto, Prissy, atau siapa pun. Mereka tahu, berurusan dengan Cakka ketika dia dekat denganku seperti ini berarti cari mati.

Itu sudah pernah terbukti. Waktu Cakka memaksa berbicara denganku dan tentu saja aku menolak, seorang cowok culun berkacamata tebal berusaha menghentikan Cakka. Kali itu berhasil, Cakka melepaskanku.  Tapi, keesokan harinya, anak culun itu tidak masuk sekolah dengan alasan demam. Lalu ketika dia masuk keesokan harinya lagi, mata kanannya lebam. Aku panic, menghampirinya, dan menanyakan kenapa matanya lebam, tapi aku tidak mendapat jawaban apa pun. Dia malah lari ketakutan dan memohon kepadaku untuk tidak dekat-dekat dengannya lagi.

Aku yakin itu pasti perbuatan Cakka. Tapi ketika aku melabrak Cakka, dia menyangkalnya. Siswi lain malah menuduh anak itu yang sengaja cari gara-gara sama Cakka, jadi sudah sepantasnya dihajar. Kebencianku terhadap Cakka semakin bertambah.

“Kamu tuli? Dia minta dilepaskan. Kamu nggak denger?” Seseorang berbicara dengan santai sambil berjalan menghampiriku. Langkahnya tenang dan mantap.

Aku menoleh, mencari tahu siapa yang berani melakukan itu. Dan ketika aku melihat wajahnya, dia sudah berhenti melangkah dan kini tepat di sampingku.

Alvin! Berani sekali dia! Itu pasti karena dia belum tahu dengan siapa dia berhadapan sekarang.

“Jangan ikut campur, ini nggak ada hubungannya sama kamu.” Cengkeraman tangan Cakka melemah. Kemudian berdiri dan memandang rendah Alvin. Tatapan Cakka sudah cukup menyampaikan ancamannya.

“Lalu, apa kamu punya hubungan dengan cewek ini? Kenapa dia ngotot minta kamu lepaskan?” Dengan santai Alvin memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Senyum itu. Entak mengapa senyum itu selalu berhasil menghipnotisku. Aku selalu terpaku setiap kali melihatnya. Kemudian aku sadar apa yang sedang kulakukan, mengagumi pada saat yang sangat tidak tepat.

“Siapa di antara kalian yang bernama Alvin Jonathan ?!” Seorang pria bertubuh besar tiba-tiba muncul dari seberang lapangan basket. Dia berkemeja dan mengenakan celana panjang hitam. Kulitnya pun hitam. Dia tampak seperti bodyguard yang sering kulihat di TV.

Pasti Pak Satpam di gerbang sekolah molor lagi deh, makanya orang seram seperti dia bisa masuk.

Alvin terpaku di tempat, tidak menoleh mendengar panggilan tadi. Aku berdiri lalu melewati Alvin dan Cakka mendekati orang tadi.

“Banyak yang bernama Alvin Jonathan di sekolah ini. Bapak cari siapa?” Aku menyipitkan mata memperhatikan gerak-gerik orang ini. Mencurigakan sekali. Aku yakin dia tidak pernah melihat wajah Alvin Jonathan.

“Alvin Jonathan, kelas XII IPA-1. Apa ada di antara kalian yang bernama Alvin Jonathan?” Dia melihat ke catatan kecil di telapak tangannya, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh wajah di lapangan. Tapi, dia tidak juga menyadari bahwa Alvin ada di sana. Ternyata benar dugaanku, orang ini hanya suruhan orang lain. Dia tidak kenal dengan Alvin! Mau apa dia?

“Dia nggak ada di sini. Kenapa?” Aku menjawab sesantai mungkin. Jantungku berdetak lebih cepat karena kebohongan yang kuucapkan.
Sedetik kemudian baru aku menyadari apa yang kulakukan. Kenapa aku melindungi Alvin? Dia kan musuh bebuyutanku.

“Vi, Alvin kan ada di situ. Kenapa kamu bilang nggak ada?” Oik menyahut dengan polos dan bingung. Dia bahkan menunjuk yang mana Alvin di antara kami.

Aku menelan ludah, panic.

Aduh! Oik ember banget sih? Sekarang gimana nasibku?

“Kenapa kamu bilang nggak ada? Kamu berani berbohong sama saya, hah?” Pria itu berjalan cepat ke arahku dengan marah. Napasku memburu dan aku ketakutan. Aku berusaha tidak menunjukkan ketakutanku, tapi jujur saja, kakiku gemetaran dan aku tak bisa menggerakkannya untuk pergi dari sana.

Pria itu semakin mendekat dan hampir meraihku. Aku membayangkan tangan besar itu akan mencengkeram kerah bajuku dan melemparkanku ke sudut lain lapangan.

“Jangan-pernah-sentuh-dia!” Alvin tiba-tiba berdiri di depanku. Dia menatap tajam pria itu sambil mengacungkan jari telunjuknya. Kata-katanya tegas dan jelas.

Pria itu kaget dan terpaku. Dia menatap Alvin lurus-lurus, seperti memperhatikan wajahnya.

“Maaf,” kata pria tadi setelah sekian lama hanya berdiri terpaku melihat Alvin melindungku.

Melindungku? Ngapain dia melindungi aku? Cih, sok jagoan!

“Pergi! Aku tahu untuk apa kalian ke sini. Kita bicarakan itu nanti, jangan disekolah. Dan ingat baik-baik, jangan pernah sentuh cewek ini! Sekarang PERGI!” Suara Alvin menggelegar. Mendadak, dia seperti pembunuh bersarah dingin. Tangan kirinya bergerak cepat mengusir pria tadi.

“Baik, kami tunggu di luar sekolah.” Pria itu lalu pergi meninggalkan lapangan.

Hatiku mencelos. Bagaimana bisa hanya dengan beberapa kata Alvin membuat pria sangar seperti macan itu tunduk? Siapa sebenernya Alvin?
Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri ketika Alvin berbalik dan menghadapku. “Kamu nggak papa, kan?” Alvin menunduk dan mengamati wajahku yang masih mengernyit karena berkutat dengan hal-hal yang tak bisa kudapatkan jawabannya.

“ Dia belum sempat nyentuh kamu, kan?” Alvin mengangkat daguku dan menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri. Mengamati setiap jengkal wajahku.

“Aku nggak papa. Trims.” Aku melangkah mundur sambil menyingkirkan tangannya dari wajahku. Aku bisa merasakan wajahku memanas karena tindakannya tadi.

“Sivia, kamu nggak papa?” Cakka tiba-tiba berdiri mendesak Alvin untuk menyingkir dan menyentuh wajahku seperti yang di lakukan Alvin.

Aku menampar tangannya lalu mundur selangkah lagi. “Aku nggak suka di pegang sembarangan!” Aku melotot padanya.

Cakka menatapku protes karena aku tidak menampar tangan Alvin tadi. Aku sendiri tidak mengerti apa yang sebenernya terjadi. Entah kenapa terasa sangat berbeda ketika Alvin yang melakukannya.

Aku merasakan seluruh lapangan memperhatikan kami bertiga. Sangat tidak nyaman. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan lapangan basket dan pulang.

Aku perlu cokelat panas untuk menenangkan pikiranku. Samar-samar aku mendengar Cakka memanggilku beberapa kali, tapi aku tidak memedulikannya dan semakin mempercepat langkahku.


“Aku nggak mood ke mana-mana hari ini. Pulang aja ya aku ngantuk.” Aku memasang sabuk pengaman lalu bersandar di kursi mobil Cakka Perutku sangat penuh sekarang. Aku mengisinya dengan seporsi nasi goreng ikan  dan ayam hainam. Kini, mataku mulai meredup.

“Jangan pulang dulu. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Oke?” Cakka belum juga melajukan mobilnya keluar dari parkiran rumah makan. Dia masih duduk menghadapku dan mengamati wajahku seperti pelukis yang mengamati objek yang akan digambarnya di kavas.

“Aku nggak suka dipandangi begitu, seperti anak kecil minta balon.” Aku menguap, mataku berair. Aku mengancingkan jaket hingga leher. Entah kenapa aku terus aja kedinginan.

“Kamu itu cantik, amore…” Cakka masih tersenyum memandangi wajahku.

“Dan satu catatan lagi buat kamu, aku bahkan nggak ingat udah berapa kali ngomong ini ke kamu, aku nggak suka dipanggil amore begitu. Jauh lebih baik kalo kamu panggil aku Sivia! Catat itu baik-baik!” bentakku. Aku tidak suka mendengarnya memanggilku seperti itu, membuat bulu kudukku berdiri ketika mendengarnya. Sama sekali tidak nyaman.

“Yaaa..yaaa… Seribu kali pun kamu ngomong gitu ke aku, nggak akan pernah mengubah caraku memanggil  namamu. Coba saja.”

Aku mengembuskan napas panjang dan membuang muka darinya. “Terserah,” ujarku sinis.

“Kamu cantik, Amore. Semakin kamu marah, semakin cantik,” bisik Cakka kemudian tertawa kecil, dan mulai melajukan mobilnya.

Aku memilih tidak menanggapi apapun yang dikatakannya barusan dan tetap melihat ke luar jendela mobil.

Mengatakan aku cantik sama saja dengan mengatakan “wajah ayam itu menggemaskan”. Karena kenyataannya, aku memang nggak cantik. Mata, pipi, bibir, dagu, dan hampir semua bagian wajah maupun tubuhku bercirikan orang Indonesia. Hanya hidung dan rambutku yang mewarisi papaku yang asli Belgia. Tapi, bukan berarti perpaduan semua bagian itu terlihat sempurna. Setiap orang yang mengatakan aku cantik, dapat aku pastikan tidak lama lagi akan menjalani operasi saraf mata.

Beda dengan cowok SMA lainnya, Cakka memang sudah dibebaskan nyetir mobil sendiri. Entah orangtuanya terlalu bebas atau terlalu sibuk. Cakka menjalankan mobilnya ke pusat kota, kemudian berhenti di depan butik yang dari depan tidak tampak terlalu besar. Tapi tidak diragukan lagi, harga pakaian di butik itu akan membuatku sesak napas dengan sukses.

“Kenapa berhenti di sini?” Aku meninggikan sebelah alis, merasakan hawa-hawa nggak beres.

“Turun aja, nanti kamu tahu sendiri.” Cakka tersenyum lagi. Dia melepaskan sabuk pengamannya lalu menghadap ke arah ku, mecoba melepas sabuk pengamanku.

“Nggak! Aku nggak mau!” bentakku.

“Bisa nggak sih suaramu pelan sedikit?” Cakka menutup telinganya sambil memejamkan sebelah mata. Senym di wajahnya terlihat sangat licik. Dia malah tampak excited ingin melaksanakan rencananya.

“Nggak.” Aku diam dan menatap lurus ke depan, menolak melihat wajah yang akan memancing emosiku itu.

“Jadi, kamu nggak mau turun nih? Kalau gitu terpaksa…” Cakka tidak menyelesaikan kalimatnya dan langsung turun dari mobil. Dia berjalan ke belakang mobil dan berputar ke arah pintuku. Beberapa menit kemudian dia membuka pintuku dan membungkuk untuk memasukkan sepruh badannya ke dalam mobil.

“Mau apa kamu?!” Aku panic melihat tindakannya dan secara spontan menekankan jari telunjukku ke jidatnya, mendorongnya menjauh.

“Kalo kamu nggak mau turun, aku paksa kamu turun.” Dia sudah menyiapkan tangannya untuk membopongku.

“Jangan gila! Oke, oke! Aku turun! Puas?!”
Begitu aku turun, dia langsung menarik tanganku. “Ikut aku masuk!”
Seperti biasa, dia menggenggam tanganku kuat-kuar, membuatku tidak bisa melepaskan diri.

Kami berdua melangkah masuk ke butik. Dan begitu masuk, aku sangat tercengang. Bagaimana mungkin tak ada seorang pun di dalam sana? Apakah butik ini hampir tutup dank arena Cakka merasa kasihan maka ia mampir ke sini? Dermawan sekali dia.

“PERMISI!” Cakka berteriak ketika belum ada seorang pun yang menyadari kehadiran kami. Dia meneriakkan kata itu sekitar lima atau enak kali.

Baru setelah teriakkan keenam, seorang wanita berpenampilan “wah” keluar dari dalam butik itu. Wanita itu berusia sekitar 30 tahun, mengenakan tank top kuning cerah, celana jins ketat yang sangat minim, dan high heels setinggi kira-kira 12 cm. tidak lupa dia menambahkan syal bulu berwarna pink muda yang terlihat mahal, serta stocking hitam yang membuatnya terlihat lebih muda beberapa tahun.

Mulutku menganga lebar ketika melihatnya melenggak-lenggok centil menghampiri tempat kami berdiri. Aku tidak menyangkan species seperti ini masih bertahan hidup pada zaman ini. Bawah matanya mulai menunjukkan beberapa kerutan yang coba dia tutupi dengan makeup supertebal yang entah hutuh berapa lama memolesnya.

“Ada apa, Cakka? Tumben ke sini malam-malam begini? Padahal tante udah siap-siap tidur.” Wanita tadi menguap sedikit tapi tetap tersenyum lebar.

Cakka tersenyum sedikit. “Tolong carikan cewek ini beberapa gaun yang dia sukai.”

Aku mendelik. Perhatianku yang sebelumnya pada wanita ini beralih penuh pada perkataan Cakka barusan. “ Untuk apa?” Spontak aku berteriak lagi pada Cakka, mengagetkannya, juga tante itu.

“Nggak papa. Aku belum ngasih kamu hadiah kenaikan kelas kemarin.” Dia menjawabku santai, nyaris menyetuh poniku, tapi aku menampar tangannya.

“Aku nggak pernah minta hadian apa pun darimu!” Aku menyipitkan mata, mengatakan apa yang ada di dalam benakku dengan lugas dan sedikit kasar.

“Memang. Aku yang mau ngasih kamu hadian, Amore. Kan aku udah bilang tadi…” Cakka semakin lancing. Dia tertawa kecil.

“Nggak, aku nggak mau! Aku pulang sekarang!” Aku berbalik dan mengambil langkah seribu, keluar dari butik. Rambutku berkibar dan leherku merinding ketika angin malam menyentuh kulitku. Sekali lagi aku merapatkan jaket dan berjalan menjauhi butik , menuju keramaian, dan mencari taksi.

“Sivia!” itu pasti Cakka yang mengejarku. Aku berusaha secepat mungkin menghindarinya.

“Sivia, tunggu! Berhenti!” Dia menarik lenganku dan memutar tubuhku. Napasnya tersengal-sengal setelah mengejarku tadi. Matanya memerah dan sedikit berair.

“Jangan pernah ngelakuin itu lagi ke aku! Aku nggak suka! Aku bisa beli sendiri! Aku bukan anak jalanan yang harus kamu sumbang pakaian! Sejak kapan kamu jadi seperti ini?” Aku membentaknya seperti orang gila dan meluapkan semua amarahku. Untung tidak terlalu banyak orang disana. Hanya beberapa pejalan kaki yang melihat ke arah kami, tapi kemudian memalingkan wajah lagi karena sadar tak seharusnya mereka ikut campur.

“Amore, kenapa semua yang aku lakuin selalu salah di matamu? Setahun lebih aku ngejar kamu, tapi apa yang aku dapat? Semakin aku mendekat, kamu semakin menjaga jarak. Kamu membuatku gila, Amore!” Cakka balas membentakku. Ini pertama kalinya dia bicara kasar padaku. Selama dua tahun dia masih bisa menyembunyikan amarahnya meskipun aku sudah menyakitinya.

“Kalo gitu, berhenti ngejar aku! Berhenti ngelakuin semua ini!” Aku tidak mau kalah. Daguku kuangkat tinggi-tinggi. Mataku berkilat-kilat menatapnya.

“Aku nggak bisa! Aku sayang sama kamu, Amore! Kenapa? Kenapa kamu nggak mau membuka hati buat aku? Kenapa?!” Matanya semakin memerah dan berair. Sepertinya dia hampir menangis. Aku tak bisa melihathnya dengan jelas. Jalanan ini cukup gelap dan hanya dua lampu jalan yang ada sebagai penerangan.

“Karena aku nggak suka sama kamu, Cakka! Aku nggak pernah mencoba menyukaimu dan nggak akan pernah mencoba! Aku nggak mau dipaksa! Perasaanku adalah milikku!” Aku berteriak, kemudian berbalik dan berlari menjauhi Cakka. Dari jauh aku melihat taksi kosong mengkal di pinggir jalan.

Aku berlari lebih cepat menghampiri taksi itu. Aku mendengar langkah yang mengikutiku, lebih cepat daripada langkahku. Tapi, aku tidak memedulikannya. Pokoknya aku harus cepat-cepat masuk ke taksi itu.

“Hei, jangan naik taksi. Aku antar kamu pulang.” Cowok bule Chinese bertubuh jangkung menutupi pintu taksi tepat ketika tanganku terulur dan hampir membuka pintu. Suaranya berat dan sangat kukenal.

Aku mendongak dan berkedip beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku.

Alvin Jonathan?!

Apa aku tidak salah lihat? Aku mulai rabun, ya? Aku menunduk lalu mengucek mata, kemudian berkedip beberapa kali lagi, mendongak lagi, dan mendapati bahwa itu benar-benar Alvin!

Dia menarik tanganku menyeberangi jalan dan menjauhi taksi.

Aku tidak melawan. Aneh sekali! Aku bukan tidak ingin melawan, tapi aku tidak mampu. Tangannya hangat dan besar menggandeng tanganku menuju mobilnya.

Kenapa dia bisa ada di sini?!


“Trims.” Aku meliriknya sedikit ketiak mobil Alvin berhenti di depan tempat kosku.

“Sama-sama.” Dia menjawabku singkat dan dingin. Bahkan dia menatap lurus ke depan, tanpa melirikku sedikit pun.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku terlalu lelah untuk membahas banyak hal dengannya. Sebenarnya aku berkali-kali ingin menanyakan kenapa dia bisa ada disana. Tapi, aku tidak siap dengan jawaban yang biasa-biasa saja. Entah mengapa hatiku berharap jawaban luar biasa seperti “aku memang mengikutimu”. Tapi, aku tahu itu tidak mungkin. Maka, aku memilih tidak bertanya.

Aku melepas sabuk pengaman , lalu membuka pintu.

“Aku…” Aku ingin berpamitan, tapi tiba-tiba tangan Alvin menahanku keluar dari mobil.

Aku melihatnya, tapi, dia masih tetap menatap lurus ke depan, tidak menoleh ke arahku.

“Kenapa?” Aku sedikit tergagap. Tangannya menggenggam tanganku kencang sekali, seolah tidak ingin aku pergi. Tapi, tentu saja itu hanya perasaanku.

“Nggak, nggak papa.” Semenit kemudian cengkeramannya mengendur dan melepas tanganku. Dia tetap menatap lurus ke depan, lalu membenarkan letak sabuk pengamannya. Siku tangan kanannya bertopang pada panel pintu kemudi sementara jemarinya menopang dagu. Dia terlihat memikirkan sesuatu.

“Ya udah, kalo gitu.. thanks anyway.” Aku melangkah keluar mobil, menutup pintu dengan sangat perlahan , berharap mendengarkan ucapan perpisahan  darinya. Tapi tetap saja tidak terdengar apa pun sampai pintu tertutup rapat dan derum knalpot mobil mengantar kepergian mobil hitam itu, lalu menghilang dari pandanganku.

Alvin Jonathan… Sejak kapan kamu begitu memengaruhi pikiranku?


novel : Beautiful Soul
Pengarang : Stefani E.L 

@thezrgn

Selasa, 19 Juni 2012

Beautiful Soul Part 1 -Versi ALVIA-


Chapter 1 : Tahun Ajaran Baru

Beberapa bulan lalu…

Aku memutuskan untuk membuka kenop pintu kelas dengan perlahan-lahan setelah sekitar lima menit berdiri di luar kelas, mengetuk pintu berkali-kali, tapi tidak juga ada jawaban. Aku melongok ke dalam kelas. Setelah melihat banyak orang di dalam, aku melangkah masuk dengan senyum yang mirip seringai, rambut berantakan, poni kusut, dan badan penuh keringat. Aku terlihat seperti habis memandikan kambing. Yah, minimal aku masih wangi karena antisipasi sepuluh semprot parfumku tadi pagi ternyata keputusan yang sangat tepat.

“Permisi, Bu. Maaf, saya terlambat. Tadi saya harus menemui Kepala Sekolah.” Aku mengucapkannya terlalu lantang diantara keheningan kelas itu.

“Kamu siapa, ya?” Pak Tarjo kaget dengan kehadiranku, mematung dengan mulut menganga dan memandangku dengan bertanya-tanya.

Aku memiringkan kepala mengamati ekspresi aneh Pak Tarjo. Bukan hanya dia yang bertanya-tanya, aku juga tidak mengerti dengan reaksinya. Apakah itu termasuk sambutan untukku dikelas?

Merasa konyol, Pak Tarjo menggeleng dengan sedikit menahan malu, lalu merapikan bajunya yang berkerut, dan berdeham keras. Sepintas ia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, memastikan tak ada murid yang berani terang-terangan menertawakan ekspresinya tadi.

“Saya Sivia. Maaf, kalo boleh tahu, ini kelas apa ya, Pak?” Tubuhku membeku ketika menyadari ada yang ganjil di sini. Aku tidak mengenal satu pun anak di kelas itu. Aku bahkan tidak ingat wali kelasku yang baru adalah pria, seingatku wanita.

“Kelas XII IPA-2. Kamu yakin siswi kelas ini?” Pak Tarjo menatapku dengan tatapan menyelidik. Dia juga merasa aku telah melakukan kesalahan. Mungkin sewaktu dia mengadakan presensi awal tadi, tak satu pun muridnya yang tidak hadir. Kalau begitu, aku pasti sudah salah masuk ruangan.

“Maaf, Pak, saya salah masuk kelas. Maaf mengganggu. Permisi..”aku membungkuk-bungkuk sambil berjalan mundur keluar kelas tanpa menunggu jawaban Pak Tarjo, lalu menutup pintu dengan sangat perlahan dan segera lari.

Pagi itu benar-benar sial!

Bangun kesiangan, kehabisan sereal karena malam sebelumnya lupa beli, kunci kos-kosan hilang, hampir ditabrak gerobak siomay waktu berangkat karena lari terburu-buru, dipanggil kepala sekolah Karena dituduh belum membayar uang sekolah, dan terakhir….salah masuk kelas! Tanggal berapa sih sekarang?! Kenapa hariku sial begini? Apakah ini pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi?

Aku berlari ke papan informasi di depan ruang Wakil Kepala Sekolah, mencari-cari lagi pengumuman yang di pajang di sana, memastikan di mana kelasku sekarang berada. Sekolahku sudah menjalankan system moving class. Jadi, setiap ganti pelajaran, kami harus pindah kelas. Setelah memastikan ruangan kelasku, aku segera berlari. Aku tidak ingin terlambat mengikuti briefing pertama pada ajaran baru. Itu akan menyulitkanku menjalani hari-hari berikutnya.

Ketika akhirnya menemukan kelas yang kurasa benar, aku mengetuk beberapa kali dan memutuskan untuk terus menunggu di depan pintu hingga ada seseorang yang memperbolehkan masuk. Aku tidak ingin kejadian sebelumnya terulang.

“Masuk aja, belum ada gurunya.” Suara itu tedengar dari dalam kelas. Setelah mendengar jawaban itu, spontan aku membuka pintu, dan ternyata benar wali kelas kamu belum datang. semua anak masih ribut, ada yang duduk di atas meja, main kartu, bergosip, dan banyak lagi. Hanya satu anak yang menyadari kehadiranku, Ify. Dia melambaikan tangan padaku, menyuruhku duduk di kursi dekatnya.

“Kamu dari mana aja?” Ify memutar kursinya Sembilan puluh derajat ke kanan, memperhatikanku yang sedang mati-matian merapikan rambutk, akhirnya kuputuskan untuk mengikatnya menjadi kucir ekor kuda saja.

“Nanti aku ceritain. Badanku lengket banget, nggak nyaman nih rasanya.” Aku menjawab sepintas sambil mengipas-ngipas tengkukku yang berkeringat.

“Pagi, anak-anak!” Bu Sita masuk ke kelas sambil membawa tumpukkan kertas setinggi leher di tangan. Ia berjalan dengan tergesa-gesa. Rambutnya yang panjang dan di-smoothing bergoyang ketika dia berjalan, makeup-nya tipis dan lembut. Dia tampak anggun dengan rok yang pendeknyalima senti di atas lutut dan blazer yang tidak dikancingkan.

Semua murid kaget begitu melihat kedatangan Bu Sita. Mereka yang semula duduk di meja, langsug lompat dan meluncur ke kursi masing-masing. Mereka yang tadi bermain kartu, langsung mengambil tas dan menutupi kartu-kartunya. Mereka yang bergosip, langsung mengunci mulut rapat-rapat dan duduk setegak mungkin. Karena kami semua tahu, guru muda dan cantik itu masuk daftar dalam guru killer.

“PAGIII, BU..!!” Suara anak kelas XII IPA-1 menggema diruangan berisikan 21 murid itu.

Bu Sita tersenyum, mengatur napasnya yang sempat tersengal, lalu berjalan ke depan meja guru agar dapat menatap kami lebih dekat. “Saya yakin kalian semua sudah kenal saya. Nama saya Bu Sita. Saya wali kelas sekaligus guru BP kalian. Jadi, kalau ada apa-apa, kalian bisa minta tolong saya. Oke?”

“OKEEE, BU…” Semua anak mengangguk-angguk.

“Baik, hari ini saya punya kejutan untuk kalian. Kita kedatangan murid baru pindahan dari Amerika. Nggak usah khawatir soal bahasa, teman baru kalian ini pernah tinggal di Indonesia waktu kecil dan juga ibunya asli Indonesia. Ini pertama kalinya sekolah kita menerima pindahan murid kelas dua belas. Jadi, kalian wajib membantunya selama belajar disini,” ujar Bu Sita tegas. Kami semua mengangguk-angguk lagi mendengar perintah itu. “Oke , silahkan masuk!” Bu Sita member kode dengan dua kali tepukan tangan.

Kami semua menanti-nanti seperti apa wajah anak baru itu. Kemudian, seorang cowok bertubuh sangat jangkung, mungkin sekitar 188 centimeter, atletis, berkulit putih, berparas aduuhai, dan sepertinya berotak brilian melangkah tenang ke dalam kelas. Semua siswi yang memang menunggu-nunggu hadirnya ksatria berkuda putih di sekolah itu langsung terpana, seakan melihat drakula di siang bolong. Cakka benar-benar kalah saing deh!

Meski ibunya asli orang Indonesia, wajahnya khas amerika. Kulitnya sangat putih, seperti orang Chinese, hidungnya mancung, bibirnya merah dan tipis tanpa ada tanda-tanda bekas nikotin, dan tulang rahangnya begitu tegas. Jujur saja, menurutku, wajah itu benar-benar sempurna.

“Nama saya Alvin Jonathan Sindhunata. Biasa dipanggil Alvin. Saya sekolah di amerika sejak SMP, tapi karena bisnis papaku berkembang di Indonesia, kami memutuskan untuk kembali.” Cowok itu memperkenalkan diri. Dia tidak repot-repot memunculkan kesan ramah. Justru sebalikanya, dia memasang wajah congkak , pamer, dan menyebalkan yang, aku yakin, tidak sulit baginya menimbulkan huru-hara di satu kampung dengan tampang seperti itu.

Kesan pertamanku mengenai wajahnya yang sempurna tiba-tiba saja luruh dan berganti dengan “manusia congkak era reformasi”.

“Oke. Kamu boleh duduk.” Bu Sita kemudian membuka mapnya. “Kita absen dulu.”

Satu per satu nama siswa-siswi  di dalam kelas disebutkan secara lengkap oleh Bu Sita. Jumlah murid kelas itu ganjil dan hanya aku yang sekarang duduk sendiri karena datang terlambat tadi. Jadi, anak baru itu tak punya pilihan lain selain duduk semeja denganku. Aku melihatnya melangkah kearahku dengan rambut rapi model spike. Satu tangannya menggenggam tali tas ransel di pundaknya.

Saat itu entah mengapa aku membeku, seperti merasakan hawa-hawa kelam disekitarku. Siswa-siswi yang ada di kelas menyipitkan mata dan melihatku dengan mata berkilat-kilat.

“Amore Acresivia Christine!” Bu Sita berteriak memanggil namaku. Aku mengangkat tangan, tapi tatapanku tak beralih dari anak baru itu. Jarak yang hanya sekitar lima meter dari depan kelas untuk sampai dimejaku terasa begitu jauh ketika dia melangkah. Padahal aku yakin langkahnya dua klai lebih lebar dibanding langkahku.

“Kosong?” Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya ketika akhirnya sampai di mejaku. Matanya menatap tajam padaku.

Aku mengangguk kaku. Leherku seperti kram, walaupun tentu saja kenyataanya tidak. Kemudian dia duduk dan meletakkan tas di meja dengan selempangan super-cool. Aku tidak tahu bagaimana membedakan tampang cool dan tampang sombong saat melihat wajahnya.

“Vi, beruntung kamu bisa duduk semeja sama dia. Cakep bangeetttt!” Ify menusuk pinggangku dengan bolpoin. Dia berbisik-bisik sambil bermain mata centil melihat Chinese ke-bule-bule-an di sampingku.

“Tampang sih boleh. Tapi kalo kelakuan amit-amit, percuma juga.” Aku menoleh kearah Ify dan membalas bisikannya dengan bisikan pula. 
 Kemudian, karena merasa kelas ber-AC itu sudah cukup dingin untukku, aku melepaskan ikatan rambutku dan membiarkannya tergurai.

“So…Amore, hah? Love?” Cowok itu tertawa kecil. Memanggil namaku seperti menyebutkan nama teraneh yang pernah dia dengar.

“Just call me sivia or via, ok?” jawabku, ketus. Dia pikir Cuma dia yang bisa bahasa inggris, hah? Dia bahkan tidak menatapku saat berbicara denganku, jadi untuk apa aku sok ramah padanya?

“Nama yang bagus. Tapi buat cewek sepertimu…” Dia tertawa lagi, kali itu benar-benar dengan nada menghina. Dia hanya melirikku dari sudut matanya, seolah sama sekali tidak menghargaiku.

“Apa masalahmu? Kalo nggak ada, diam saja deh,” jawabku ketus, berusaha memepertahankan harga diri untuk tidak bertengkar dengannya. Kurasa itu keputusan yang sangat tepat. Aku menyibakkan rambutku ke pundak kiriku.

Itu hari tersial sepanjang abad! Ditambah lagi aku harus duduk semeja dengan murid baru berwajah congkak bernama Alvin Jonathan Sindhunata!

“LIMITED EDITION DEVIL OF YEAR!!!” Aku menulis buku di catatan kegiatan bagian paling depan dengan spidol merah! Aku garis bawahi berkali-kali sampai puas.

 
“Fiuhh.. untung kita belum terlambat.” Aku mengembuskan nafas panjang setelah duduk di salah satu kursi panjang di dalam gereja, memutar bola mata, lalu menata kembali posisi rambutku yang masih setengah basah. Aku baru saja melakukan mission impossible beberapa menit sebelumnya. Jarak gereja ini dengan tempat kosanku sekitar lima belas menit, tapi tadi aku berhasil menempuhnya dengan hanya tujuh menit lebih beberapa detik.

Kuteriakkan “Wow!” untukku.

“Vi, coba kamu lihat ke pojok paling kiri deretan kursi di depan kita.” Aku mendekatkan telingaku ke bibir Ify yang bersuara sangat pelan. 
 “Cuma aku, atau kamu juga ngerasa familier sama wajahnya?” Dia menyenggol siku tangan kiriku, lalu sedikit teleng ke kiri untuk memberiku kode agar melihat ke kiri.

Aku mengambil kacamata dari dalam tas lalu menenggerkannya di hidungku. Dengan susah payah, aku memfokuskan mata untuk menangkap dengan jelas bayangan wajah cowok yang dimaksud Ify.

Mataku menyipit. “Itu bukannya… Alvin si anak pindahan?!” Nada suaraku meninggi, tapi masih tetap berbisik. Cowok yang kuperhatikan tiba-tiba menoleh dan melihat tepat ke wajahku. Aku kaget, lalu dengan cepat berpura-pura tidak ada apa-apa, membenarkan posisi dudukku, dan kembali menghadap lurus ke depan.

“Tuh kan, bener itu Alvin. Tapi, sama siapa ya, Vi? Pacarnya?” Ify berbisik lagi. Sudut matanya memperhatikan Alvin di ujung sana.

Aku mengangkat bahu. “Seharusnya iya. Kalo bukan pacar, cewek itu nggak mungkin bermanja-manja begitu. Lagi pula, apa cewek itu nggak merasa salah kostum? Masa ke gereja pake tank top? Atau mungkin cewek itu sengaja karena cowoknya seneng lihat dia pake itu?” aku membolak-balik kertas misa yang sudah mulai kucel di tanganku.

Jujur saja, tanganku berkeringat dingin. Perhatianku teralih dari misa. Aku tidak menyangka akan bertemu Alvin di gereja. Dia tampak luar biasa dalam T-shirt berbalut kemeja tipis, lebih sempurna daripada ketika mengenakan seragam sekolah. Tapi yang paling membuatku terpaku adalah cewek yang duduk di sampingnya. Cewek itu cantik, rambutnya panjang, dan berkilau. Aku tahu itu meski hanya sepintas melihatnya. Dia kurus, seksi, manja, centik, dan anggun, persis seperti yang diidam-idamkan semua cowok di dunia. Dia duduk menempel dengan tubuh Alvin dan berkali-kali menyentuh wajah Alvin. Aku tidak tahan melihat tingkah cewek yang tidak tahu adat itu, kemudian kuputuskan melepas kacamataku agar tidak bisa melihat mereka.

“Mungkin juga.” Ify mengangguk-angguk. “Eh, misanya sudah mau dimulai. Pastornya sudah datang.” ify berdiri sambil menarik tanganku ketika lonceng berdenting.


Aku berusaha tetap berkonsentrasi pada misa dan khotbah yang disampaikan pastor. Tapi mataku tak bisa berhenti melirik dua makhluk yang sejak tadi melakukan perbuatan yang tidak pada tempatnya. Cewek itu seperti hampir mencium pipi Alvin, untung Alvin bergerak menjauhinya. Lalu cewek itu bersandar pada pundak Alvin, tertawa-tawa centik sendirian karena tidak terlihat satu pun senyum di wajah Alvin. Orang-orang di sekitar mereka sudah mulai bergeser, sedikit demi sedikit menjauhi. Ada yang sengaja terbatuk-batuk lalu bergeser beberapa kali, ada pula yang menggeser tas mereka menjauh lebih dulu lalu bokong mereka bergerak menjauh. Gereja ini disulap menjadi panggung drama karena perliaku mereka!

Keringat dingin terus-menerus keluar di dahiku karena aku memaksa pikiranku focus pada misa. Baru kali itu aku merasa sangat lelah mengikuti misa. Akhirnya, aku menyerah. Aku bersandar pada kursi dan menunduk. Mungkin lebih baik aku tidak melawan pikiranku lagi dan memohon ampun pada Tuhan atas kelalaianku.

“Mbak, mbak…” seseorang  menyentuh pundak kananku berkali-kali.

“Ini apa lagi?!” aku mengangkat wajahku lalu berbisik agak keras padanya, lepas kendali.

Orang –orang didekatku langsung membeku. Mereka menoleh ke arahku, mungkin bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah dia kerasukan setan?’, ‘Apakah jiwanya terguncang?’ Ify juga takjub melihat reaksiku. Aku berkedip berkali-kali, mencoba menenangkan diri.

Kemudian Ify berbisik, “Dia cuman mau kasih kotak kolekte ke kamu, Vi. Kasihan dia, nggak salah tapi malah kamu damprat.” Ify menahan tawa. Dia membekap mulut dengan telapak tangan.

Pipiku memerah dan tiba-tiba seperti terbakar. Betapa bodohnya aku karena membentak orang itu. Akulah yang salah tidak menjawab panggilannya.

“Maaf, terima kasih.”

“Lho, kamu nggak ngisi kolekte, Vi?” Ify kebingungan melihatku lagi.

“Oh iya, ya ampun. Bentar, bentar.” Aku kelabakan mengambil uang dari dalam tas dan segera memasukkannya ke lubang kecil di kotak itu.

Saat itu aku ingat betul, aku baru mengenal Alvin selama sehari –bahkan baru beberapa jam yang singkat- karena pada hari sebelumnya adalah hari pertama tahun ajaran baru yang diisi dengan briefing dan perkenalan kelas. Lalu, bagaimana bisa orang seperti dia mengacaukan pikiranku? Orang sombong yang tidak menghargaiku ketika berbicara denganku!


“Habis ini mau ke mana?” aku menstrater mobil, menunggu mesinnya panas.

“Hm.. makan dulu, setelah itu kita nonton. Ada film bagus di bioskop. Tapi, kita ambil yang midnight show aja. Sepi, lebih gampang dapat tiketnya. Gimana?” Ify menjawab.

“Oke.” Aku melajukan mobil dari parkiran gereja yang penuh sesak.
Samar-samar saat akan keluar dari gerbang pintu keluar gereja, aku melihat Alvin berjalan sendirian ke sebuah mobil sambil membuka ponselnya. Dia tampak serius membaca tulisan di layar ponselnya. Aku bertanya-tanya di mana cewek yang tadi bersamanya. Karena setelah itu, Alvin langsung masuk mobil dan pergi.

Aku dan Ify pergi ke restoran steik yang terkenal. Aku merasa butuh asupan gizi besar setelah kejadian di gereja tadi. Mungkin itu bukan karena Alvin, tapi karena aku kelaparan. Ya, itu masuk akal. Aku berulang kali mencoba meyakinkan diri. Karena keyakinan itulah aku memesan chicken steak porsi dobel dan jus alpukat dengan susu coklat.

“Vi, bentar deh.” Ify mengucek-ngucek mata.

“Kenapa? Ada yang salah?” aku menyeruput jus alpukat yang berulang kali membuatku menelan air liur ketika menunggu kehadirannya.

“Itu di belakangmu… Alvin lagi?!” Ify benar-benar melotot kali ini. Dia seperti orang yang tersedak tanpa sebab. Telunjuknya mengarah ke belakangku.

“Apa?!” Aku tidak kalah terkejutnya. Spontan aku berbalik cepat hingga mengibaskan rambutku yang sedikit basah terkena hujan ketika turun dari mobil tadi. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Ify.

Benar! Itu Alvin! Dia duduk sekitar tiga meja dibelakangku bersama seorang cewek/ itu bukan cewek yang kami lihat di gereja sebelumnya. Dia berganti pasangan dalam tempo kurang dari setengah jam? Berarti waktu dia menatap serius ponselnya di parkiran gereja, dia sedang mengatur jadwal bersama cewek mana dan di mana? Dasar bule-china playboy!

“Iya, itu Alvin lagi, dan bersama cewek yang berbeda. Hebat sekali. Pengin sekali aku menancapkan pisau ini ke jidatnya.” Aku menyentuh dan melihat-lihat pisau steak yang disediakan di meja, membandingkan mana yang paling tajam untuk kutancapkan ke jidat Alvin.

Aku sengaja memasang ekspresi datar di depan Ify. Tapi dalam hatiku seperti ada pukulan besar yang menyakitkan. Aku benci cowok-cowok yang suka mempermainkan cewek. Kalau Alvin salah satu cowok itu, berarti dia juga masuk dalam daftar cowok yang harus kubenci.

“Wah, gila, dalam dua jam dia udah ganti dua cewek.” Ify menggeleng-gelengkan kepala. “Tapi dia memang luar biasa cakep, Vi. Lihat deh, matanya tajam dan indah, hidungnya mancung sempurna, bibirnya merah, wajahnya tegas dan beribawa, suaranya berat dan serak serak basah, dan senyumannya itu lho, membuat dunia serasa berhenti berputar…” Ify memandang lurus ke arah Alvin sengan senyum yang terlihat seperti orang dimabuk cinta.

“Hei!” aku mengetuk kepala Ify dengan sendok.

“Aduh, Via! Sakit!” Ify mengusap-usap kepalanya. “Tapi kamu juga harus mengakui kalo dia memang cakep luar biasa, Via. Dan kalau misalnya suatu hari ada keajaiban dan dia serius mau pacaran sama kamu, kamu bakal milih dia atau Cakka?” Ify menopang dagu ke telapak tangan kanannya, memandangku dengan berbinar-binar. Senyumannya seperti meledekku.

Jantungku sempat behenti berdetak beberapa detik ketika Ify menyebut nama Cakka dan membandingkannya dengan Alvin. Apakah hal itu mungkin terjadi? Dan kalau memang terjadi, siapa yang akan kupilih? Tapi, ah, untuk apa mengira-ngira sesuatu yang tidak mungkin terjadi? Mereka berdua sudah masuk black list-ku.


Kesialanku belum berakhir…

“Ternyata midnight show banyak dipake pasangan buat pacaran, ya.” Aku mengeluarkan popcorn dan soft drink yang tadi kubeli.

“Yap. Emang kamu belom pernah nonton yang jam segini?” Ify tampak tenang-tenang aja.

“Iya. Aku pikir sepi. Eh, ternyata malah gawat begini.”

“Ssstt…” Seseorang di samping kiriku memperingatkanku untuk diam. Dia tampak terganggu dengan obrolanku dan Ify.

Tapi kuputuskan mengambil jalan damai. “Maaf.” Aku nyegir padanya sambil mengangkat sedikit tangan kiriku.

“Iya, memang gini, Vi, resiko nonton jam segini. Udah, cuekin aja. Tuh filmnya mulai.” Ify meneguk air mineralnya lalu mengikuti posisi dudukku.

“Auw!” Seseorang menendang kepalaku dari belakang. Bukan hanya menyenggol, dia benar-benar menendang!

Sialan! Cari masalah nih orang! Dia bahkan tidak mengucapkan maaf atas perbuatannya!

Aku berdiri dan langsung melotot ke belakang. Tanganku bertengger dengan gaya menantang di pinggang. “HEH! Apa perlu ada sekolah khusu kepribadian buat kaki biar kamu nggak sembarangan nendang kepala orang? Udah gitu nggak minta maaf pula!” Aku membentak orang itu sekeras-kerasnya agar seisi studio tahu orang ini tidak punya etika.

“Udah, Vi, biarin aja.” Ify menarik tanganku dan membujukku untuk duduk.

“Nggak bisa! Dia bahkan nggan nurunin kakinya dari kursiku sampai sekarang! Mana mungkin aku diem aja?” Aku menampar kaki orang itu yang masih bertengger di punggung kursiku, membuat orang itu goyah di tempat duduknya dan hampir terjerembap.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata karena tidak bisa melihat wajahnya dengan  jelas di tengah temaramnya studio. Kemudian, ketika menyadari bahwa aku sudah melihat wajah itu berkali-kali hari ini, darahku naik hingga ubun-ubun hingga wajahku terasa panas. Tanganku mengepal dan napasku memburu.

“Kamu lagi?!” Aku berteriak lebih keras dibandung sebelumnya. Aku sudah sangat ingin melompat dari kursiku dan langsung meninju mukanya. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya tiga kali dalam sehari?! Dan sesuai dugaanku, dia duduk dengan cewek yang berbeda lagi! Aku benar-benar muak melihat mukanya.

“Kenapa kamu bisa ada disini?!” Alvin ikut berdiri karena tidak terima dengan tamparanku pada kakinya, dan balas meneriakiku.

“Itu nggak penting! Yang penting paling adalah kamu menendang kepalaku dan nggak minta maaf!” Aku menudingnya dengan kepala sedikit terangkat karena posisi duduknya di deret atasku.

Mataku berkilat-kilat menatapnya, wajahku memerah karena menahan emosi.

“Heiii! Diam!!! Kaliuan berdua berisik! Mengganggu konsentrasi aja! Kalau..” Pasangan yang tadi duduk disamping kiriku berteriak lagi padaku.

“Maaf, udah bikin ribut. Tapi gimana kalau ada orang yang menendang kepalamu dan nggak minta maaf?” Aku memotong perkataannya lalu menatap tajam orang itu. Dia pun diam.

Emosiku sudah memuncak. Mungkin kalau perlakunya bukan Alvin, emosiku tidak akan separah itu. Tapi dia Alvin! Orang yang sesorean ini sudah sangat mengganggu pikiranku!

“Maaf, ada keributan apa di sini?” Seorang petugas wanita menghampiri tempat dudukku. Dia tersenyum sopan padaku.

Aku menarik napas panjang, mencoba sedikit meredam amarah. “Orang ini menendang kepala saya dan menolak meminta maaf.” Aku menunjuk wajah Alvin.

“Bukan seperti itu, saya nggak sengaja.” Alvin tergagap-gagap mencoba mencari alasan. Dia terlihat sekali berpura-pura menyesal, sama sekali tak ada ketulusan meminta maaf.

“Kalau begitu, Mas minta maaf saja agar masalahnya tidak berlarut-larut.” Petugas itu bertutur bijak. Dia masih memasang senyum ramah.
Aku tahu Alvin masih ingin membantah dan membela diri. Bibirnya masih bergerak-gerak, mencoba mencari alasan. Tapi cewek disampingnya berdiri lalu membisikkan sesuatu. Alvin mengangguk lalu tersenyum sambil menyentuh pinggang cewej itu, mendekapnya lebih dekat ke tubuhnya.

Napasku berhenti sejenak ketika melihatnya. Wajahku memanas lagi. Kali ini berbeda, bukan karena emosi akibat tendangan dikepalaku tadi, tapi karena adegan barusan. Aku tidak tahan melihatnya, ingin sekali aku mencakar wajah Alvin. Menerkamnya bak serigala melihat mangsa saat benar-benar kelaparan.

“Maaf,” ujar Alvin, masih bertahan pada sikap dinginnya. Dia kembali duduk dikursinya.

“Haap setelah ini menjaga ketenangan demi kenyamanan bersama. Terima kasih.” Petugas itu mengangguk singkat lalu pergi dari tempatku.
Aku masih berdiri, menatap tajam wajah yang dipuja-puja cewek-cewek disekolahku. Amarahku sudah tidak bisa dibendung lagi. Terlebih sekarang dia dengan asyiknya bergandengan tangan dengan cewek itu, berlagak ingin menunjukkan bahwa dia menyayanginya.

Aku kasihan pada cewek itu. Nasibnya tak lebih baik dari sekedar mainan yang sebentar lagi dibuang setelah pemiliknya bosan. Bodoh sekali cewek itu bila tidak mencari tahu latar belakang pacarnya, hanya terbujuk pada harta dan tampang.

“Udah, Vi, duduk lagi. Filmnya bagus. Nggak perlu ngurusin mereka lagi.” Ify menarik tanganku duduk.

Aku masih menggeram, tapi terpaksa menyetujui omongan Ify. Tidak ada untungnya ikut campur urusan mereka. Yang paling penting bagiku: Alvin Jonathan, limited edition devil of the year, masuk dalam daftar hitam orang yang harus kubenci!

@thezrgn
Novel : ‘Beautiful Soul’ (Stefani E.l)

Minggu, 03 Juni 2012

Beautiful Soul PROLOG -Versi ALVIA-


“Sivia, aku mau ngomong sama kamu.” Cakka berjalan mendekatiku. Seketika hawa di sekitarku berubah beku. Kulitku seperti tertusuk-tusuk angin yang berhembus memainkan rambut pendekku.

Dia memakai seragam SMA yang tidak dikancingkan hingga atas, sengaja ingin menimbulkan kesan menggoda. Setelah itu, dia mengumbar senyum yang menurut banyak orang seharusnya melelehkanku. Tapi di mataku senyuman itu justru terlihat seperti seringai harimau yang siap memangsa buruannya.

Aku menelan ludah dan terkesiap ngeri ketika menyadari dia sudah dekat denganku. Sekitarku berubah sepi dan hanya langkahnya yang terdengar.

“Tapi aku nggak mau,” jawabku singkat dan segera berbalik untuk pergi dari situ. Kakiku bergerak sangat cepat menapaki lantai lorong sekolah yang agak basah dan licin karena hujan. Biasanya Cakka akan mengejar dan memaksakan kehendaknya. Maka, solusi terbaik yang kupunya adalah pergi secepatnya dan bersembunyi di balik tembok samping lapangan basket.

Lebih dari setahun dia mencoba mendekatiku. Aku sudah menggunakan segala cara untuk menolaknya, tapi dia tak juga berhenti, malah semakin menjadi-jadi. Semua temanku menganggapku tidak normal karena menolak Cakka yang notabene pujaan hati ratusan siswi di sekolah ini. 
 Tapi, aku punya alas an sendiri untuk menolaknya.

Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

“Bawa dulu anak ini ke pusat informasi, dia kehilangan orang tuanya. Setelah itu, baru bawa aku kerumah sakit.” Suara anak kecil yang sebaya denganku itu masih terngiang di benakku.

Saat hilang di mal dan hampur tertimpa reruntuhan kayu, aku baru berusia Sembilan tahun. Itu sekitar delapan tahun lalu. Tapi hingga detik ini, aku masih belum bisa melupakan anak itu. Dia tidak memedulikan tangannya yang berdarah terkena reruntuhan kayu dan dengan tenang malah menyuruh sopirnya yang sangat panic ketika menemukannya untuk menolongku.

“Hei!” Seseorang berteriak di belakangku.

Aku berhenti melangkah.

Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin panggilan itu ditujukan untukku. Tapi sepertinya tak ada salahnya berbalik dan melihat siapa di sana. Menurutku, berhenti sebentar tidak akan membuat Cakka mampu menemukanku.

Ketika berbalik, aku melihat titik hitam yang bergerak sangat cepat dan tampak semakin besar ke arahku. Aku mengernyit dan menyipitkan mata, melihat apa sebenernya titik itu. Detik berikutnya aku menyadari bahwa itu bola basket yang siap menghantam hidungku.

Aku tahu benakku menyarankan untuk menghindar, tapi kakiku seperti terpaku di tanah. Aku pun hanya pasrah dan menutup mata, membiarkan bola itu dengan sukses menghantam wajahku, dan membuat tubuhku terpelanting ke lapangan yang becek.

“Aw! Hidungku!”

Aku sempat merasakan semuanya tiba-tiba gelap.

Butuh beberapa saat bagiku untuk sepenuhnya tersadar. Setelah yakin bahwa kepalaku baik-baik saja, aku bangkit berdiri, mengambil bolas basket tadi, dan dengan langkah berdebum serta amarah membara di dada, aku menghampiri cowok-cowok yang bermain basket.

“Sialan! Siapa yang sengaja ngelempar bola tadi?!” Aku berteriak keras ke arah mereka.

Tak ada yang menjawab.

Aku semakin cepat mendekati cowok yang lagaknya paling menantangku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena kacamataku tertinggal di tas.

“Gimana? Otakmu udah baikan kena lemparan tadi? Atau perlu aku lempar sekali lagi untuk memastikan otakmu masih berfungsi?” Suaranya congkak dan menyebalkan. Sama sekali tidak terdengar merasa bersalah.
Dia berdiri dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana dan memamerkan senyum penuh kelicikan. Siapa lagi kalau bukan Alvin Jonathan Sindhunata, anak pindahan baru yang entah kenapa selalu cari masalah denganku.

“sebenernya otak siapa yang nggak jalan? Lagi pula, aku nggak merasa ngelakuin sesuatu yang membuatmu harus membenahi otakku!” tanganku mengepal dan tangan yang lain siap melemparkan bola basket ini ke mukanya. Cuaca dingin di  sekitarku tak berhasil meredam amarahku.

Dia mengangkat bahu. “Yah, aku hanya khawatir otakmu membeku karena terlalu lama dekat dengan pujaan hatimu itu. Siapa namanya? Cakka Nuraga?” Senyum penuh cela itu tersungging di wajahnya.
Sekarang aku hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri hingga bisa melihat wajah dan tubuhnya dengan jelas. Seragamnya basah kuyup. Dia pasti sudah bermain di lapangan ini sejak hujan dimulai sekitar satu jam yang lalu.

Lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas karena seragam basah itu lepek di tubuhnya. Aku menelan ludah melihat pemandangan di hadapanku.

Bagaimana bisa cowok ini terlihat sesempurna itu? Wajahnya yang Chinese agak ke-bule-bule-an jelas kontras dengan cowok-cowok lain di sekolah. Tapi bahasa Indonesia-nya sangat fasih karena katanya dia tinggal di Indonesia waktu kecil.

Aku berusaha  menguasai diri. Susah payah mengumpulkan keberanian untuk melawannya. “Bukan urusanmu! Aku bahkan nggak punya hubungan apa-apa denganmu.” Aku menatapnya tajam.

Dia menatapku lebih tajam setelah mendengar kalimat terakhirku. Aku bisa merasakan dia tidak menyukai ucapanku. Lalu, dengan tenang dia berjalan mendekatiku. “Itu urusanku, semua yang ada padamu adalah urusanku, terutama kalau ada sangkut pautnya dengan Cakka. Sini, biar kulihat apakah hidungmu baik-baik saja.” Dia menarik tanganku.

Tubuhku limbung tak bisa mempertahankan posisiku. Aku berayun begitu saja mendekat ke tubuhnya. Bola basket yang sebelumnya ingin aku lempar untuk membalasnya, malah jatuh ke tanah karena tanganku mendadak terlalu lemah untuk memegangnya. Tubuhku seperti terbakar ketika dia menyentuhku. Di sampingnya, aku seperti lepas kendali.
Sekarang tangannya beralih memeriksa hidungku yang merah dan berdenyut-denyut. Tatapannya tajam menelusuri sudut-sudut wajahku yang terkena bola lemparannya.

Aku berusaha sebisa mungkin menghindari tatapannya.

“Aku nggak papa.” Aku berbohong, mundur selangkah, lalu menunduk. 

“Jangan ngelakuin itu lagi. Aku nggak suka disentuh sembarangan,” ujarku terbata-bata. Kedua tanganku saling meremas di belakang punggung. Entah mengapa, aku selalu gugup di dekatnya. Otakku tidak berfungsi dengan normal.

“Maaf, aku nggak sengaja melukaimu.” Dia menarikku mendekat lagi. Aku juga tidak mencoba melawan, dan membiarkan tangannya memeriksa wajahku. Aku sadar dia musuhku, tapi hatiku tidak berpikiran sama.

Sejak kedatangan Alvin di sekolah ini, hidupku jadi kacau.

Novel : Beautiful Soul (Stefani E.l)