Chapter 1 : Tahun Ajaran Baru
Beberapa bulan lalu…
Aku memutuskan untuk membuka kenop pintu kelas dengan
perlahan-lahan setelah sekitar lima menit berdiri di luar kelas, mengetuk pintu
berkali-kali, tapi tidak juga ada jawaban. Aku melongok ke dalam kelas. Setelah
melihat banyak orang di dalam, aku melangkah masuk dengan senyum yang mirip
seringai, rambut berantakan, poni kusut, dan badan penuh keringat. Aku terlihat
seperti habis memandikan kambing. Yah, minimal aku masih wangi karena
antisipasi sepuluh semprot parfumku tadi pagi ternyata keputusan yang sangat
tepat.
“Permisi, Bu. Maaf, saya terlambat. Tadi saya harus menemui
Kepala Sekolah.” Aku mengucapkannya terlalu lantang diantara keheningan kelas
itu.
“Kamu siapa, ya?” Pak Tarjo kaget dengan kehadiranku,
mematung dengan mulut menganga dan memandangku dengan bertanya-tanya.
Aku memiringkan kepala mengamati ekspresi aneh Pak Tarjo.
Bukan hanya dia yang bertanya-tanya, aku juga tidak mengerti dengan reaksinya.
Apakah itu termasuk sambutan untukku dikelas?
Merasa konyol, Pak Tarjo menggeleng dengan sedikit menahan
malu, lalu merapikan bajunya yang berkerut, dan berdeham keras. Sepintas ia
mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, memastikan tak ada murid yang berani
terang-terangan menertawakan ekspresinya tadi.
“Saya Sivia. Maaf, kalo boleh tahu, ini kelas apa ya, Pak?”
Tubuhku membeku ketika menyadari ada yang ganjil di sini. Aku tidak mengenal
satu pun anak di kelas itu. Aku bahkan tidak ingat wali kelasku yang baru
adalah pria, seingatku wanita.
“Kelas XII IPA-2. Kamu yakin siswi kelas ini?” Pak Tarjo
menatapku dengan tatapan menyelidik. Dia juga merasa aku telah melakukan
kesalahan. Mungkin sewaktu dia mengadakan presensi awal tadi, tak satu pun
muridnya yang tidak hadir. Kalau begitu, aku pasti sudah salah masuk ruangan.
“Maaf, Pak, saya salah masuk kelas. Maaf mengganggu.
Permisi..”aku membungkuk-bungkuk sambil berjalan mundur keluar kelas tanpa
menunggu jawaban Pak Tarjo, lalu menutup pintu dengan sangat perlahan dan
segera lari.
Pagi itu benar-benar sial!
Bangun kesiangan, kehabisan sereal karena malam sebelumnya
lupa beli, kunci kos-kosan hilang, hampir ditabrak gerobak siomay waktu
berangkat karena lari terburu-buru, dipanggil kepala sekolah Karena dituduh
belum membayar uang sekolah, dan terakhir….salah masuk kelas! Tanggal berapa sih sekarang?! Kenapa hariku
sial begini? Apakah ini pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi?
Aku berlari ke papan informasi di depan ruang Wakil Kepala
Sekolah, mencari-cari lagi pengumuman yang di pajang di sana, memastikan di
mana kelasku sekarang berada. Sekolahku sudah menjalankan system moving class. Jadi, setiap ganti
pelajaran, kami harus pindah kelas. Setelah memastikan ruangan kelasku, aku
segera berlari. Aku tidak ingin terlambat mengikuti briefing pertama pada
ajaran baru. Itu akan menyulitkanku menjalani hari-hari berikutnya.
Ketika akhirnya menemukan kelas yang kurasa benar, aku
mengetuk beberapa kali dan memutuskan untuk terus menunggu di depan pintu
hingga ada seseorang yang memperbolehkan masuk. Aku tidak ingin kejadian
sebelumnya terulang.
“Masuk aja, belum ada gurunya.” Suara itu tedengar dari dalam
kelas. Setelah mendengar jawaban itu, spontan aku membuka pintu, dan ternyata
benar wali kelas kamu belum datang. semua anak masih ribut, ada yang duduk di atas
meja, main kartu, bergosip, dan banyak lagi. Hanya satu anak yang menyadari
kehadiranku, Ify. Dia melambaikan tangan padaku, menyuruhku duduk di kursi
dekatnya.
“Kamu dari mana aja?” Ify memutar kursinya Sembilan
puluh derajat ke kanan, memperhatikanku yang sedang mati-matian merapikan
rambutk, akhirnya kuputuskan untuk mengikatnya menjadi kucir ekor kuda saja.
“Nanti aku ceritain. Badanku lengket banget, nggak nyaman
nih rasanya.” Aku menjawab sepintas sambil mengipas-ngipas tengkukku yang berkeringat.
“Pagi, anak-anak!” Bu Sita masuk ke kelas sambil membawa
tumpukkan kertas setinggi leher di tangan. Ia berjalan dengan tergesa-gesa.
Rambutnya yang panjang dan di-smoothing bergoyang ketika dia berjalan,
makeup-nya tipis dan lembut. Dia tampak anggun dengan rok yang pendeknyalima
senti di atas lutut dan blazer yang tidak dikancingkan.
Semua murid kaget begitu melihat kedatangan Bu Sita. Mereka yang semula duduk di meja, langsug lompat dan meluncur ke kursi masing-masing. Mereka yang tadi bermain kartu, langsung mengambil tas dan menutupi kartu-kartunya. Mereka yang bergosip, langsung mengunci mulut rapat-rapat dan duduk setegak mungkin. Karena kami semua tahu, guru muda dan cantik itu masuk daftar dalam guru killer.
“PAGIII, BU..!!” Suara anak kelas XII IPA-1 menggema
diruangan berisikan 21 murid itu.
Bu Sita tersenyum, mengatur napasnya yang sempat tersengal,
lalu berjalan ke depan meja guru agar dapat menatap kami lebih dekat. “Saya
yakin kalian semua sudah kenal saya. Nama saya Bu Sita. Saya wali kelas
sekaligus guru BP kalian. Jadi, kalau ada apa-apa, kalian bisa minta tolong
saya. Oke?”
“OKEEE, BU…” Semua anak mengangguk-angguk.
“Baik, hari ini saya punya kejutan untuk kalian. Kita
kedatangan murid baru pindahan dari Amerika. Nggak usah khawatir soal bahasa,
teman baru kalian ini pernah tinggal di Indonesia waktu kecil dan juga ibunya
asli Indonesia. Ini pertama kalinya sekolah kita menerima pindahan murid kelas
dua belas. Jadi, kalian wajib membantunya selama belajar disini,” ujar Bu Sita
tegas. Kami semua mengangguk-angguk lagi mendengar perintah itu. “Oke ,
silahkan masuk!” Bu Sita member kode dengan dua kali tepukan tangan.
Kami semua menanti-nanti seperti apa wajah anak baru itu.
Kemudian, seorang cowok bertubuh sangat jangkung, mungkin sekitar 188
centimeter, atletis, berkulit putih, berparas aduuhai, dan sepertinya berotak
brilian melangkah tenang ke dalam kelas. Semua siswi yang memang
menunggu-nunggu hadirnya ksatria berkuda putih di sekolah itu langsung terpana,
seakan melihat drakula di siang bolong. Cakka benar-benar kalah saing deh!
Meski ibunya asli orang Indonesia, wajahnya khas amerika.
Kulitnya sangat putih, seperti orang Chinese, hidungnya mancung, bibirnya merah
dan tipis tanpa ada tanda-tanda bekas nikotin, dan tulang rahangnya begitu
tegas. Jujur saja, menurutku, wajah itu benar-benar sempurna.
“Nama saya Alvin Jonathan Sindhunata. Biasa dipanggil Alvin.
Saya sekolah di amerika sejak SMP, tapi karena bisnis papaku berkembang di
Indonesia, kami memutuskan untuk kembali.” Cowok itu memperkenalkan diri. Dia
tidak repot-repot memunculkan kesan ramah. Justru sebalikanya, dia memasang
wajah congkak , pamer, dan menyebalkan yang, aku yakin, tidak sulit baginya
menimbulkan huru-hara di satu kampung dengan tampang seperti itu.
Kesan pertamanku mengenai wajahnya yang sempurna tiba-tiba
saja luruh dan berganti dengan “manusia congkak era reformasi”.
“Oke. Kamu boleh duduk.” Bu Sita kemudian membuka mapnya.
“Kita absen dulu.”
Satu per satu nama siswa-siswi di dalam kelas disebutkan secara lengkap oleh
Bu Sita. Jumlah murid kelas itu ganjil dan hanya aku yang sekarang duduk
sendiri karena datang terlambat tadi. Jadi, anak baru itu tak punya pilihan
lain selain duduk semeja denganku. Aku melihatnya melangkah kearahku dengan
rambut rapi model spike. Satu tangannya menggenggam tali tas ransel di
pundaknya.
Saat itu entah mengapa aku membeku, seperti merasakan
hawa-hawa kelam disekitarku. Siswa-siswi yang ada di kelas menyipitkan mata dan
melihatku dengan mata berkilat-kilat.
“Amore Acresivia Christine!” Bu Sita berteriak memanggil
namaku. Aku mengangkat tangan, tapi tatapanku tak beralih dari anak baru itu.
Jarak yang hanya sekitar lima meter dari depan kelas untuk sampai dimejaku
terasa begitu jauh ketika dia melangkah. Padahal aku yakin langkahnya dua klai
lebih lebar dibanding langkahku.
“Kosong?” Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya ketika
akhirnya sampai di mejaku. Matanya menatap tajam padaku.
Aku mengangguk kaku. Leherku seperti kram, walaupun tentu
saja kenyataanya tidak. Kemudian dia duduk dan meletakkan tas di meja dengan
selempangan super-cool. Aku tidak tahu bagaimana membedakan tampang cool dan
tampang sombong saat melihat wajahnya.
“Vi, beruntung kamu bisa duduk semeja sama dia. Cakep
bangeetttt!” Ify menusuk pinggangku dengan bolpoin. Dia berbisik-bisik
sambil bermain mata centil melihat Chinese ke-bule-bule-an di sampingku.
“Tampang sih boleh. Tapi kalo kelakuan amit-amit, percuma
juga.” Aku menoleh kearah Ify dan membalas bisikannya dengan bisikan pula.
Kemudian, karena merasa kelas ber-AC itu sudah cukup dingin untukku, aku
melepaskan ikatan rambutku dan membiarkannya tergurai.
“So…Amore, hah? Love?” Cowok itu tertawa kecil. Memanggil
namaku seperti menyebutkan nama teraneh yang pernah dia dengar.
“Just call me sivia or via, ok?” jawabku, ketus. Dia pikir
Cuma dia yang bisa bahasa inggris, hah? Dia bahkan tidak menatapku saat
berbicara denganku, jadi untuk apa aku sok ramah padanya?
“Nama yang bagus. Tapi buat cewek sepertimu…” Dia tertawa
lagi, kali itu benar-benar dengan nada menghina. Dia hanya melirikku dari sudut
matanya, seolah sama sekali tidak menghargaiku.
“Apa masalahmu? Kalo nggak ada, diam saja deh,” jawabku
ketus, berusaha memepertahankan harga diri untuk tidak bertengkar dengannya.
Kurasa itu keputusan yang sangat tepat. Aku menyibakkan rambutku ke pundak
kiriku.
Itu hari tersial sepanjang abad! Ditambah lagi aku harus
duduk semeja dengan murid baru berwajah congkak bernama Alvin Jonathan
Sindhunata!
“LIMITED EDITION DEVIL OF YEAR!!!” Aku menulis buku di
catatan kegiatan bagian paling depan dengan spidol merah! Aku garis bawahi
berkali-kali sampai puas.
“Fiuhh.. untung kita belum terlambat.” Aku mengembuskan
nafas panjang setelah duduk di salah satu kursi panjang di dalam gereja,
memutar bola mata, lalu menata kembali posisi rambutku yang masih setengah
basah. Aku baru saja melakukan mission impossible beberapa menit sebelumnya.
Jarak gereja ini dengan tempat kosanku sekitar lima belas menit, tapi tadi aku
berhasil menempuhnya dengan hanya tujuh menit lebih beberapa detik.
Kuteriakkan “Wow!” untukku.
“Vi, coba kamu lihat ke pojok paling kiri deretan kursi di
depan kita.” Aku mendekatkan telingaku ke bibir Ify yang bersuara sangat pelan.
“Cuma aku, atau kamu juga ngerasa familier sama wajahnya?” Dia menyenggol siku
tangan kiriku, lalu sedikit teleng ke kiri untuk memberiku kode agar melihat ke
kiri.
Aku mengambil kacamata dari dalam tas lalu menenggerkannya
di hidungku. Dengan susah payah, aku memfokuskan mata untuk menangkap dengan
jelas bayangan wajah cowok yang dimaksud Ify.
Mataku menyipit. “Itu bukannya… Alvin si anak pindahan?!”
Nada suaraku meninggi, tapi masih tetap berbisik. Cowok yang kuperhatikan
tiba-tiba menoleh dan melihat tepat ke wajahku. Aku kaget, lalu dengan cepat
berpura-pura tidak ada apa-apa, membenarkan posisi dudukku, dan kembali
menghadap lurus ke depan.
“Tuh kan, bener itu Alvin. Tapi, sama siapa ya, Vi?
Pacarnya?” Ify berbisik lagi. Sudut matanya memperhatikan Alvin di ujung sana.
Aku mengangkat bahu. “Seharusnya iya. Kalo bukan pacar, cewek
itu nggak mungkin bermanja-manja begitu. Lagi pula, apa cewek itu nggak merasa
salah kostum? Masa ke gereja pake tank top? Atau mungkin cewek itu sengaja
karena cowoknya seneng lihat dia pake itu?” aku membolak-balik kertas misa yang
sudah mulai kucel di tanganku.
Jujur saja, tanganku berkeringat dingin. Perhatianku teralih
dari misa. Aku tidak menyangka akan bertemu Alvin di gereja. Dia tampak luar
biasa dalam T-shirt berbalut kemeja tipis, lebih sempurna daripada ketika
mengenakan seragam sekolah. Tapi yang paling membuatku terpaku adalah cewek
yang duduk di sampingnya. Cewek itu cantik, rambutnya panjang, dan berkilau.
Aku tahu itu meski hanya sepintas melihatnya. Dia kurus, seksi, manja, centik,
dan anggun, persis seperti yang diidam-idamkan semua cowok di dunia. Dia duduk
menempel dengan tubuh Alvin dan berkali-kali menyentuh wajah Alvin. Aku tidak
tahan melihat tingkah cewek yang tidak tahu adat itu, kemudian kuputuskan
melepas kacamataku agar tidak bisa melihat mereka.
“Mungkin juga.” Ify mengangguk-angguk. “Eh, misanya sudah
mau dimulai. Pastornya sudah datang.” ify berdiri sambil menarik tanganku
ketika lonceng berdenting.
Aku berusaha tetap berkonsentrasi pada misa dan khotbah yang
disampaikan pastor. Tapi mataku tak bisa berhenti melirik dua makhluk yang
sejak tadi melakukan perbuatan yang tidak pada tempatnya. Cewek itu seperti
hampir mencium pipi Alvin, untung Alvin bergerak menjauhinya. Lalu cewek itu
bersandar pada pundak Alvin, tertawa-tawa centik sendirian karena tidak
terlihat satu pun senyum di wajah Alvin. Orang-orang di sekitar mereka sudah
mulai bergeser, sedikit demi sedikit menjauhi. Ada yang sengaja terbatuk-batuk
lalu bergeser beberapa kali, ada pula yang menggeser tas mereka menjauh lebih
dulu lalu bokong mereka bergerak menjauh. Gereja ini disulap menjadi panggung
drama karena perliaku mereka!
Keringat dingin terus-menerus keluar di dahiku karena aku
memaksa pikiranku focus pada misa. Baru kali itu aku merasa sangat lelah
mengikuti misa. Akhirnya, aku menyerah. Aku bersandar pada kursi dan menunduk.
Mungkin lebih baik aku tidak melawan pikiranku lagi dan memohon ampun pada
Tuhan atas kelalaianku.
“Mbak, mbak…” seseorang
menyentuh pundak kananku berkali-kali.
“Ini apa lagi?!” aku mengangkat wajahku lalu berbisik agak
keras padanya, lepas kendali.
Orang –orang didekatku langsung membeku. Mereka menoleh ke
arahku, mungkin bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah dia kerasukan setan?’,
‘Apakah jiwanya terguncang?’ Ify juga takjub melihat reaksiku. Aku berkedip
berkali-kali, mencoba menenangkan diri.
Kemudian Ify berbisik, “Dia cuman mau kasih kotak kolekte ke
kamu, Vi. Kasihan dia, nggak salah tapi malah kamu damprat.” Ify menahan tawa.
Dia membekap mulut dengan telapak tangan.
Pipiku memerah dan tiba-tiba seperti terbakar. Betapa
bodohnya aku karena membentak orang itu. Akulah yang salah tidak menjawab
panggilannya.
“Maaf, terima kasih.”
“Lho, kamu nggak ngisi kolekte, Vi?” Ify kebingungan
melihatku lagi.
“Oh iya, ya ampun. Bentar, bentar.” Aku kelabakan mengambil
uang dari dalam tas dan segera memasukkannya ke lubang kecil di kotak itu.
Saat itu aku ingat betul, aku baru mengenal Alvin selama
sehari –bahkan baru beberapa jam yang singkat- karena pada hari sebelumnya
adalah hari pertama tahun ajaran baru yang diisi dengan briefing dan perkenalan
kelas. Lalu, bagaimana bisa orang seperti dia mengacaukan pikiranku? Orang
sombong yang tidak menghargaiku ketika berbicara denganku!
“Habis ini mau ke mana?” aku menstrater mobil, menunggu
mesinnya panas.
“Hm.. makan dulu, setelah itu kita nonton. Ada film bagus di
bioskop. Tapi, kita ambil yang midnight show aja. Sepi, lebih gampang dapat
tiketnya. Gimana?” Ify menjawab.
“Oke.” Aku melajukan mobil dari parkiran gereja yang penuh
sesak.
Samar-samar saat akan keluar dari gerbang pintu keluar
gereja, aku melihat Alvin berjalan sendirian ke sebuah mobil sambil membuka
ponselnya. Dia tampak serius membaca tulisan di layar ponselnya. Aku
bertanya-tanya di mana cewek yang tadi bersamanya. Karena setelah itu, Alvin
langsung masuk mobil dan pergi.
Aku dan Ify pergi ke restoran steik yang terkenal. Aku
merasa butuh asupan gizi besar setelah kejadian di gereja tadi. Mungkin itu
bukan karena Alvin, tapi karena aku kelaparan. Ya, itu masuk akal. Aku berulang
kali mencoba meyakinkan diri. Karena keyakinan itulah aku memesan chicken steak
porsi dobel dan jus alpukat dengan susu coklat.
“Vi, bentar deh.” Ify mengucek-ngucek mata.
“Kenapa? Ada yang salah?” aku menyeruput jus alpukat yang
berulang kali membuatku menelan air liur ketika menunggu kehadirannya.
“Itu di belakangmu… Alvin lagi?!” Ify benar-benar melotot
kali ini. Dia seperti orang yang tersedak tanpa sebab. Telunjuknya mengarah ke
belakangku.
“Apa?!” Aku tidak kalah terkejutnya. Spontan aku berbalik
cepat hingga mengibaskan rambutku yang sedikit basah terkena hujan ketika turun
dari mobil tadi. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Ify.
Benar! Itu Alvin! Dia duduk sekitar tiga meja dibelakangku
bersama seorang cewek/ itu bukan cewek yang kami lihat di gereja sebelumnya.
Dia berganti pasangan dalam tempo kurang dari setengah jam? Berarti waktu dia
menatap serius ponselnya di parkiran gereja, dia sedang mengatur jadwal bersama
cewek mana dan di mana? Dasar bule-china playboy!
“Iya, itu Alvin lagi, dan bersama cewek yang berbeda. Hebat
sekali. Pengin sekali aku menancapkan pisau ini ke jidatnya.” Aku menyentuh dan
melihat-lihat pisau steak yang disediakan di meja, membandingkan mana yang
paling tajam untuk kutancapkan ke jidat Alvin.
Aku sengaja memasang ekspresi datar di depan Ify. Tapi dalam
hatiku seperti ada pukulan besar yang menyakitkan. Aku benci cowok-cowok yang
suka mempermainkan cewek. Kalau Alvin salah satu cowok itu, berarti dia juga
masuk dalam daftar cowok yang harus kubenci.
“Wah, gila, dalam dua jam dia udah ganti dua cewek.” Ify
menggeleng-gelengkan kepala. “Tapi dia memang luar biasa cakep, Vi. Lihat deh,
matanya tajam dan indah, hidungnya mancung sempurna, bibirnya merah, wajahnya
tegas dan beribawa, suaranya berat dan serak serak basah, dan senyumannya itu
lho, membuat dunia serasa berhenti berputar…” Ify memandang lurus ke arah Alvin
sengan senyum yang terlihat seperti orang dimabuk cinta.
“Hei!” aku mengetuk kepala Ify dengan sendok.
“Aduh, Via! Sakit!” Ify mengusap-usap kepalanya. “Tapi kamu
juga harus mengakui kalo dia memang cakep luar biasa, Via. Dan kalau misalnya
suatu hari ada keajaiban dan dia serius mau pacaran sama kamu, kamu bakal milih
dia atau Cakka?” Ify menopang dagu ke telapak tangan kanannya, memandangku
dengan berbinar-binar. Senyumannya seperti meledekku.
Jantungku sempat behenti berdetak beberapa detik ketika Ify
menyebut nama Cakka dan membandingkannya dengan Alvin. Apakah hal itu mungkin
terjadi? Dan kalau memang terjadi, siapa yang akan kupilih? Tapi, ah, untuk apa
mengira-ngira sesuatu yang tidak mungkin terjadi? Mereka berdua sudah masuk
black list-ku.
Kesialanku belum berakhir…
“Ternyata midnight show banyak dipake pasangan buat pacaran,
ya.” Aku mengeluarkan popcorn dan soft drink yang tadi kubeli.
“Yap. Emang kamu belom pernah nonton yang jam segini?” Ify
tampak tenang-tenang aja.
“Iya. Aku pikir sepi. Eh, ternyata malah gawat begini.”
“Ssstt…” Seseorang di samping kiriku memperingatkanku untuk
diam. Dia tampak terganggu dengan obrolanku dan Ify.
Tapi kuputuskan mengambil jalan damai. “Maaf.” Aku nyegir
padanya sambil mengangkat sedikit tangan kiriku.
“Iya, memang gini, Vi, resiko nonton jam segini. Udah,
cuekin aja. Tuh filmnya mulai.” Ify meneguk air mineralnya lalu mengikuti
posisi dudukku.
“Auw!” Seseorang menendang kepalaku dari belakang. Bukan
hanya menyenggol, dia benar-benar menendang!
Sialan! Cari masalah nih orang! Dia bahkan tidak mengucapkan
maaf atas perbuatannya!
Aku berdiri dan langsung melotot ke belakang. Tanganku
bertengger dengan gaya menantang di pinggang. “HEH! Apa perlu ada sekolah khusu
kepribadian buat kaki biar kamu nggak sembarangan nendang kepala orang? Udah
gitu nggak minta maaf pula!” Aku membentak orang itu sekeras-kerasnya agar
seisi studio tahu orang ini tidak punya etika.
“Udah, Vi, biarin aja.” Ify menarik tanganku dan membujukku
untuk duduk.
“Nggak bisa! Dia bahkan nggan nurunin kakinya dari kursiku
sampai sekarang! Mana mungkin aku diem aja?” Aku menampar kaki orang itu yang
masih bertengger di punggung kursiku, membuat orang itu goyah di tempat
duduknya dan hampir terjerembap.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata karena tidak bisa melihat
wajahnya dengan jelas di tengah
temaramnya studio. Kemudian, ketika menyadari bahwa aku sudah melihat wajah itu
berkali-kali hari ini, darahku naik hingga ubun-ubun hingga wajahku terasa
panas. Tanganku mengepal dan napasku memburu.
“Kamu lagi?!” Aku berteriak lebih keras dibandung
sebelumnya. Aku sudah sangat ingin melompat dari kursiku dan langsung meninju
mukanya. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya tiga kali dalam sehari?! Dan
sesuai dugaanku, dia duduk dengan cewek yang berbeda lagi! Aku benar-benar muak
melihat mukanya.
“Kenapa kamu bisa ada disini?!” Alvin ikut berdiri karena
tidak terima dengan tamparanku pada kakinya, dan balas meneriakiku.
“Itu nggak penting! Yang penting paling adalah kamu
menendang kepalaku dan nggak minta maaf!” Aku menudingnya dengan kepala sedikit
terangkat karena posisi duduknya di deret atasku.
Mataku berkilat-kilat menatapnya, wajahku memerah karena
menahan emosi.
“Heiii! Diam!!! Kaliuan berdua berisik! Mengganggu
konsentrasi aja! Kalau..” Pasangan yang tadi duduk disamping kiriku berteriak
lagi padaku.
“Maaf, udah bikin ribut. Tapi gimana kalau ada orang yang
menendang kepalamu dan nggak minta maaf?” Aku memotong perkataannya lalu
menatap tajam orang itu. Dia pun diam.
Emosiku sudah memuncak. Mungkin kalau perlakunya bukan
Alvin, emosiku tidak akan separah itu. Tapi dia Alvin! Orang yang sesorean ini
sudah sangat mengganggu pikiranku!
“Maaf, ada keributan apa di sini?” Seorang petugas wanita
menghampiri tempat dudukku. Dia tersenyum sopan padaku.
Aku menarik napas panjang, mencoba sedikit meredam amarah.
“Orang ini menendang kepala saya dan menolak meminta maaf.” Aku menunjuk wajah
Alvin.
“Bukan seperti itu, saya nggak sengaja.” Alvin
tergagap-gagap mencoba mencari alasan. Dia terlihat sekali berpura-pura
menyesal, sama sekali tak ada ketulusan meminta maaf.
“Kalau begitu, Mas minta maaf saja agar masalahnya tidak
berlarut-larut.” Petugas itu bertutur bijak. Dia masih memasang senyum ramah.
Aku tahu Alvin masih ingin membantah dan membela diri.
Bibirnya masih bergerak-gerak, mencoba mencari alasan. Tapi cewek disampingnya
berdiri lalu membisikkan sesuatu. Alvin mengangguk lalu tersenyum sambil
menyentuh pinggang cewej itu, mendekapnya lebih dekat ke tubuhnya.
Napasku berhenti sejenak ketika melihatnya. Wajahku memanas
lagi. Kali ini berbeda, bukan karena emosi akibat tendangan dikepalaku tadi,
tapi karena adegan barusan. Aku tidak tahan melihatnya, ingin sekali aku
mencakar wajah Alvin. Menerkamnya bak serigala melihat mangsa saat benar-benar
kelaparan.
“Maaf,” ujar Alvin, masih bertahan pada sikap dinginnya. Dia
kembali duduk dikursinya.
“Haap setelah ini menjaga ketenangan demi kenyamanan
bersama. Terima kasih.” Petugas itu mengangguk singkat lalu pergi dari
tempatku.
Aku masih berdiri, menatap tajam wajah yang dipuja-puja
cewek-cewek disekolahku. Amarahku sudah tidak bisa dibendung lagi. Terlebih
sekarang dia dengan asyiknya bergandengan tangan dengan cewek itu, berlagak
ingin menunjukkan bahwa dia menyayanginya.
Aku kasihan pada cewek itu. Nasibnya tak lebih baik dari
sekedar mainan yang sebentar lagi dibuang setelah pemiliknya bosan. Bodoh
sekali cewek itu bila tidak mencari tahu latar belakang pacarnya, hanya terbujuk
pada harta dan tampang.
“Udah, Vi, duduk lagi. Filmnya bagus. Nggak perlu ngurusin
mereka lagi.” Ify menarik tanganku duduk.
Aku masih menggeram, tapi terpaksa menyetujui omongan Ify.
Tidak ada untungnya ikut campur urusan mereka. Yang paling penting bagiku:
Alvin Jonathan, limited edition devil of
the year, masuk dalam daftar hitam orang yang harus kubenci!
@thezrgn
Novel : ‘Beautiful Soul’ (Stefani E.l)
novel ini juga salah satu novel favoriteku.. entah kenapa suka aja sama karakter yang dingin-dingin..kayak ame ini..
BalasHapusjangan lupa juga untuk berkunjung ke blog aku yaa: obat pelangsing herbal
obat kista ampuh
terima kasih sebelumnya